DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas Sejarah
Dakwah Bimbingan dan Konseling Islam
Oleh :
Zeffa Yurihana 15220041
Anom Sarianingsih 15220046
Endang Santika 15220048
Dosen Pengampu : H. Moh. Abu Suhud
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi
rabbil’alaamiin. Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan nikmat dan sehat yang tak terhingga sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga shalawat serta salam kami curahkan
kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam
makalah ini yang berjudul “Dakwah pada Masa Khulafaur Rasyidin”,
kami membuatnya guna memenuhi tugas mata kuliah yaitu Sejarah Dakwah yang
diampu oleh Bapak H. Moh Abu Suhud, Semoga makalah yang kami tulis ini dapat
bermanfaat untuk kita semua dan dapat menambah wawasan bagi kita semua pada
khususnya bagi para pembaca.
Makalah
yang penulis buat ini berdasarkan dari
berbagai referensi yang berkaitan dengan mata kuliah Sejarah Dakwah. Penulis
ucapkan terima kasih kepada bapak H. Moh Abu Suhud selaku dosen pengampu mata
kuliah Sejarah Dakwah yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis. Selain
itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, penulis sangat menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun
demi perbaikan makalah ini menuju yang lebih baik.
Yogyakarta,
27 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan agama islam berjalan sangat pesat diawali
dari zaman Rasulullah hingga sekarang ini, setelah rasul wafat islam tidak
hanya berhenti disitu saja akan tetapi islam harus tetap berjalan kepemimpinan
umat juga harus ada yang melanjutkan. Nabi sebagai seorang Rasul utusan Allah
swt memang tidak bisa digantikan, akan tetapi kedudukan Nabi sebagai kepala
pemerintahan tentu saja dapat digantikan.
Penerusan pemerintahan dan dakwah islam kemudian berlanjut
dengan diteruskan oleh para sahabat Rasul, yang kemudian dikenal dengan istilah
masa kekhalifahan.
Kata khalifah
sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus artinya
adalah umat yang melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya “orang yang duduk
setelahmu”.[1]
Pada masa pemerintahan empat khalifah tersebut sangat
banyak pelajaran yang dapat dicontoh. Pada setiap masa kepemimpinan empat
khalifah tersebut, terdapat perbedaan dalam hal kepemimpinannya. Baik ditilik
pada sistem pemerintahannya, masalah yang dihadapinya, sikap atau
kepribadiannya dan budaya yang dihasilkan dari masing-masing khalifah tersebut.
Masa khalifah ini masih mengikuti ajaran-ajaran Nabi, baik
dalam pengangkatan pemimpin dengan cara musyawarah dan kepemimpinan yang
relatif demokratis.
Tentu
sebagai umat islam hendaknya kita mengetahui serta memahami sejarah
perkembangan agama islam, sehingga dengan begitu setidaknya kita dapat
mengambil pelajaran pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada sejarah
perkembangan islam, agar menjadikan kita lebih bijaksana lagi dalam hal
bersikap.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
dari uraian latar belakang diatas penulis akan menjelaskan tulisan ini melalui
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
problematika atau kondisi umat pasca Rasulullah wafat?
2. Bagaimana
sistem pengangkatan atau pemilihan pada setiap khalifah?
3. Bagaimana
perkembangan dakwah pada setiap khalifah?
4. Bagaimana
ciri-ciri dakwah pada masa khulafaur rasyidin?
5. Apa
hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap kepemimpinan empat
khalifah?
C.
Tujuan
Makalah
Berdasarkan
dari uraian rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui dan memahami Bagaimana problematika atau kondisi umat pasca
Rasulullah wafat.
2. Untuk
mengetahui dan memahami Bagaimana sistem pengangkatan atau pemilihan pada
setiap khalifah.
3. Untuk
mengetahui dan memahami Bagaimana perkembangan dakwah pada setiap khalifah.
4. Untuk
mengetahui dan memahami bagaimana ciri dakwah dari khulafaur rasyidin.
5. Untuk
mengetahui dan memahami hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap
kepemimpinan empat khalifah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika Ummat Pasca Rasul Wafat
Para sahabat sudah membaca
tanda-tanda atau pesan akan berakhirnya masa kenabian, melalui sikap, ucapan
Nabi, saat khutbah pada pelaksanaan haji wada’ (haji terakhir) dan turunnya
ayat Al-Qur’an. Nabi dalam khutbahnya menekankan persoalan kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas. Tidak
lama dari peristiwa itu, kondisi Nabi sudah mulai sering sakit dan menunjuk Abu
Bakar Ash-Shiddiq sebagai pengganti imam shalat. Kondisi sakit Nabi semakin
parah, pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M Nabi
wafat. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan banyak pihak, terlebih lagi Nabi
belum pernah mempersiapkan penggantinya. Suksesi menjadi titik krusial, meski
prinsip musyawarah sudah menjadi basic yang selalu ditanamkan Nabi dalam
pengambilan keputusan.
Setelah diketahui Nabi wafat dan
tidak meninggalkan wasiat soal pengganti beliau sebagai pemimpin politik, para
sahabat berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan siapa pengganti Nabi dalam
menjalankan dakwah dan pemerintahan. Muhammad sebagai Rasulullah tidak bisa
digantikan sepeninggalnya, namun untuk fungsi Muhammad sebagai kepala
pemerintahan dan pemimpin masyarakat harus harus dilanjutkan. Pengganti pada
fungsi kekhalifahan ini harus ada dan tidak boleh terhenti. Banyak sumber
menyebutkan terjadi perdebatan sengit dalam menentukan siapa pengganti
kedudukan Muhammad ini, karena masing-masing pihak merasa punya hak untuk
melanjutkan kepala pemerintahan negara.[2]
Permasalahan egosentris mereka muncul
dan menganggap kelompoknya merasa unggul dan memiliki hak untuk menggantikan
kedudukan kepemimpinan Rasul sebagai kepala pemerintahan. Bahkan tokoh-tokoh
dari kaum Anshar sependapat hak kekhalifahan ada di tangannya, bukandi tangan
kaum Muhajirin.[3]
Oleh karena itu, pasca wafatnya
rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu.
Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang
Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar
mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia
mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhammad, sesungguhnya Muhammad
telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak
akan pernah mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat QS.
Ali Imran: 144.
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.[4]
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.[4]
Kendati Nabi tidak menunjuk
penggantinya sebelum wafat, dengan mempertimbangkan banyak hal, ummat islam
menyadari betul bahwa posisi Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi prioritas
pertimbangan sebagai pengganti Rasulullah
sebagai kepala pemerintahan. Umat islam juga benar-benar menyadari cara
pergantian harus melalui musyawarah, agar monopoli dan perampasan kekuasaan
tidak terjadi. Pemaksaan pribadi untuk mencapai kekuasaan tidak terjadi, karena
semua dikembalikan kepada umat islam. Keberhasilan menentukan Abu Bakar
Ash-Shiddiq menjadi pengganti Muhammad, sudah tentu ada proses dan gesekan
kecil dalam berpendapat merupakan hal yang
wajar dalam musyawarah atau cara demokrasi.
Keberhasilan memilih Abu Bakar
Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama melalui lembaga musyawarah, merupakan
tradisi baru dan merupakan pengalaman pertama bagaimana membangun kebudayaan
dalam politik islam. Peristiwa keberhasilan suksesi kepemimpinan ini jelas
menjadi momentum terbaik untuk penentuan kepemimpinan pasca kenabian. Pemimpin
umat islam pasca kenabian ini disebut dengan Khalifah rasulillah (pengganti
rasul) atau disebut dengan khalifah saja, merupakan simbol kebudayaan baru dan
kedepannya akan menjadi rujukan umat islam dalam melakukan suksesi
kepemimpinan.
Kedudukan Khalifah rasyidah dalam
pemerintahan membawa dua misi utama, yaitu sebagai pemimpin politik yang harus menjaga
keutuhan wilayah teritorial, menjaga kedamaian dan kesejahteraan masyarakatnya.
Kemudian pekerjaan yang harus dipegang khalifah adalah membawa misi dakwah
untuk melanjutkan perjuangan. Muhammad sebagai pemimpin agama, sehingga di
tangan khalifah ada kewajiban menjalankan tatanan agama secara benar,
menyeluruh dan terpadu.[5]
Sepeninggal Rasulullah banyak masalah
yang dihadapi para sahabat, mulai dari soal pemurtadan, keberadaan nabi palsu,
keengganan membayar pajak, hingga persoalan politik yang menyangkut suksesi
kepemimpinan pasca kenabian.[6]
B. Sistem Pemilihan Khalifah
Persoalan pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd Saw wafat, adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah Saw menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan, Rasulullah menyerahkannya kepada umat Islam. Tetapi, ada satu prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun.[7]
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Beliau
memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara
demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut
sesuai dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern seperti
sekarang ini. Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah
berikan bagi umat Islam dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka mengajukan
calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum
Muhajirin menekankan pada aspek kesetian dan perjuangan dalam masa-masa awal
pengembangan Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk itu, mereka mengajukan nama
calon, yaitu Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait, menghendaki agar Ali
bin Abi Thalib dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin Abi Thalib
dalam permusyawaratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya sebagai
anak angkat sekaligus menantu Rasulullah saw.
Perdebatan
siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai
kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat
Islam, antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan
panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara
aklamasi untuk menduduki jabatan khalifah.
Selesai
terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato
sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara
lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai
khalifah. Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi
saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila
berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang
salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku
sebagaimaa aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya,
jangan sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, beliau tidak gila jabatan dan juga tidak gila akan kedudukan, jabatan atau kekuasaan dan harta.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, beliau tidak gila jabatan dan juga tidak gila akan kedudukan, jabatan atau kekuasaan dan harta.
2. Umar bin al-Khattab
Beliau diangkat dan dipilih oleh para pemuka
masyarakat dan disetujui secara aklamasi oleh umat Islam. Proses pengangkatan
ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta Umar bin al-Khattab bersedia
menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijtihad ini didasari
atas kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu
timbulnya krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal
umat Islam, jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu
Bakar al-Shiddiq.
Berdasarkan
pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi penggantinya.
Permintaan inipun disetujui oleh Umar, hanya Umar meminta agar persoalan ini
dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, agar tidak terjadi
salah paham.
Permintaan
itu dipenuhi, untuk itu kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat
mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu
Bakar terbaring sakit di tempat tidur. Pilihan itupun disetujui oleh para
pemuka masyarakat, Kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian
ia membai’at Umar bin al-Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia. Peristiwa tersebut terjadi
pada Jumadil Akhir tahun 13 H atau tepatnya pada 634 M.
3. Usman bin ‘Affan
Beliau dipilih
dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Dewan ini
dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang sakit. Prosedur
ini ditempuh guna memaksimalkan potensi yang ada di masing-masing sahabat,
selain masih tetap mempertahankan prinsip syura, yang diajarkan Nabi Muhammad
Saw. Hanya modelnya yang berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa
sebelumnya.
Pemilihan
melalui Dewan enam ini, diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal yang mampu
menjalankan amanah demi penegakkan Islam dan pengembangannya ke luar Jairah
Arabia. Seperti ditegaskan
pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika kha-lifah Umar ibn al-Khattab sakit.
pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui Dewan. Dewan ini dibentuk ketika kha-lifah Umar ibn al-Khattab sakit.
Pembentukan
lembaga ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi, terutama soal
penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin
‘Affân, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dewan ini bertugas memilih
salah seorang di antara mereka yang akan menggantikannya sebagai
khalifah.‘Abdurrahman bin ‘Auf dipercayakan menjadi ketua panitia pemilihan
tersebut. Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan
harus didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses
pemilihan tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak,
maka dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat
suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang
menjadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Setelah Umar bin al-Khattab
meninggal dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Auf menjalankan tugasnya sebagai ketua
panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan.
Tugas
pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari
kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian
menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan khalifah
‘Umar ibn al-Khattâb.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai la-pisan masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat meng-inginkan ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahman bin ‘Auf cenderung kepada ‘Usman ibn ‘Affan, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya. Keempat, baik ‘Usman ibn ‘Affan maupun ‘Ali bin Abi Thalib, masing -masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai la-pisan masyarakat, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat meng-inginkan ‘Usmân bin ‘Affân menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. ‘Abdurrahman bin ‘Auf cenderung kepada ‘Usman ibn ‘Affan, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash menginginkan ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui pendapatnya. Keempat, baik ‘Usman ibn ‘Affan maupun ‘Ali bin Abi Thalib, masing -masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah masalah
yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah. Namun berkat
ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses pemilihan
berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan ‘Usman bin
‘Affan terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, sedang ‘Ali bin Abi
Thalib, memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usman bin ‘Affan ke kursi
kekuasaan. Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengangkat tangan ‘Usman
bin ‘Affan sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti khalifah
terdahulu, yaitu ‘Umar ibn al-Khattab. Ketika terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân
bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana.
Namun para sahabatnya banyak yang memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh
keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan para kerabatnya. ‘Usman bin
‘Affan menjadi khalifah selama 12 tahun.
4. Ali bin Abi Thalib
Sementara
itu, tampilnya Ali bin Abi Thalib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah
mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalirah Usman
bin Affan oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan
selama masa pemerintahannya. Ali bin Abi Thalib diangkat oleh jama’ah umat
islam dan sebagian besar adalah para pemberontak. Dalam situasi seperti itu,
harus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi,
tidak ada seorangpun ketika itu yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi Ali
bin Abi Thalib masih hidup.
Dibaiat
tidak secara bulat oleh kaum muslimin, bahkan tokoh-tokoh muslim yang dikenal
dekat dengan rasul sampai beberapa waktu lamanya tidak membaiat Ali, seperti
zubair, tolhah bahkan Aisyah sendiri tidak mau membaiatnya.[8]
C. Dakwah pada Masa Khulafa ar Rasyidin
1. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M)
a. Biografi Singkat Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu bakar namanya adalah Abdullah bin
Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah. Lahir di
Mekkah dua tahun beberapa bulan setelah tahun Gajah. Rasulullah SAW,
menyifatinya dengan “atiq min an nar” (orang
yang terbebas dari neraka), sehingga dia lebih dikenal dengan atiq. Ada yang
mengatakan bahwa ia dipanggil dengan Atiq, karena kebagusan rupanya. Sedangkan
gelar “shiddiq” beliau peroleh setelah peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah,
ketika beliau tanpa ragu-ragu
membenarkan kejadian tersebut disaat orang lain mendustakan dan
menganggapnya sebagai hal yang mengada-ngada.
Pada masa jahiliyyah beliau dikenal
sebagai orang yang berakhlaq mulia, pandai bergaul, pemberani, tidak minum
khamr dan memiliki ilmu tentang nasab dan berita orang Arab.Setelah islam tiba,
beliau termasuk dalam deretan orang-orang pertama yang masuk islam. Banyak
sahabat-sahabat besar masuk islam karena beliau, seperti Usman bin Affan,
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah.
Abu bakar menemani Nabi ketika hijrah
ke Madinah. Beliau tidak pernah absen ikut berperang bersama Nabi Saw. Pada
masa mudanya beliau adalah pedagang. Ketika masuk islam, modal dasar beliau
sebesar empat puluh dirham. Beliau banyak menginfakkan hartanya untuk
kepentingan dakwah, terutama untuk membebaskan orang-orang tertindas dan
budak-budak muslim. Ketika hijrah, sisa uangnya tinggal lima ribu dirham,
beliau bawa saat berhijrah dan beliau serahkan pengelolaannya kepada Rasulullah
Saw.[9]
b. Abu Bakar Menjadi Khalifah
Masa yang sangat singkat dalam
pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq ini ternyata banyak menghasilkan
perkembangan dari sisi kebudayaan islam. Dan yang terpenting dalam masa
pemerintahannya adalah keberhasilan menyelamatkan umat islam dari perpecahan
sepeninggal rasul. Selain itu, beliau juga sudah menorehkan keberhasilannya
dalam menegakkan Negara islam secata politik, karena semua bentuk pembangkangan
manusia dapat diselesaikan dan semua masyarakat kembali tunduk kepada
pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Di saat amanah pemerintahan baru saja
diembankan kepada beliau, tiba-tiba Madinah dikejutkan oleh gerakan yang
menggerogoti sistem islam yang meluas hampirke seluruh Semenanjung Arabia.
Bentuk gerakan itu dapat diklasifikasikan dalam tiga pola yaitu:[10]
1.) Murtad dari Agama
Mereka adalahorang-orang yang lemah
imannya dan masuk islam hanya formalitas. Kemungkinan mereka adalah kelompok
munafik pada zaman Nabi. Setiap ada kesempatan menghancurkan kaum muslimin,
mereka melakukan gerakan, sebagaimana yang terjadi pada perang Tabuk dan Bani
al Musthaliq. Mereka tidak berani terang-terangan melakukan pemurtadan diri
pada masa Nabi karena kuatnya islam saat itu. Peralihan kekuasaan dari Nabi ke
Abu Bakar mereka anggap saat yang tepat untuk melakukan gerakan ini.
2.) Gerakan Nabi Palsu
Seperti Musailamah al Kazzab dari
Bani Hanifah, al Aswad al-‘Insi dari Yaman, Thalhah bin Khuwailid dari bani
Asad dan Sajjah dari bani Tamim. Sebagian fenomena ini sudah muncul pada masa
Nabi, tetapi wafatnya Nabi mereka anggap sebagai kesempatan untuk tampil
terang-terangan. Cukup banyak orang yang bergabung dengan mereka. Di antara isu
yang mereka bawa adalah penolakan kekuasaan di tangan Quraisy dan isu fanatik
kesukuan.
3.) Pembangkangan Zakat
Kelompok ini berpandangan bahwa zakat
itu diberikan kepada Nabi Saw. Dengan dalil khitab (objek informasi) dalam ayat
tentang zakat dikhususkan kepada Nabi. Oleh karena itu, setelah Nabi wafat
hukum tentang zakat itu tidak berlaku lagi.
Imam Thabari menggambarkan suasana
awal pemerintahan Abu Bakar: Masyarakat
Arab menjadi murtad, baik umum atau khusus pada kabilah tertentu. Kemunafikan
merajalela, orang Yahudi dan Nasrani mulai menyusup, dan kaum muslimin ibarat
kambing di malam yang hujan di musim dingin akibat kehilangan Nabi, sedikitnya
jumlah mereka dan banyaknya musuh yang mengepung.”
Abu Bakar mempelajari semua masalah
yang terjadi, sehingga beliau membuat keputusan tegas dengan jalan perang jika
mereka tidak mau diajak untuk berdamai dengan beliau mengirim surat kepada
mereka yang melakukan pelanggaran.
Kebijakan internal dan eksternal
ditempuh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memperkuat pemerintahan islam. Adanya
penerapan sistem gaji untuk khalifah diambilkan dari Baitul Mal, musyawarah
sebagai jalan pemutus perkara, pembentukan dewan syariah sebagai embrio
peradilan islam dan penerapan struktur dalam pemerintahan dengan diangkatnya
para gubernur sebagai wakil khalifah yang menjaga keamanan dan kestabilan
wilayah.[11]
Dalam menjalankan pemerintahan,
beliau meletakkan fungsi baitul mal benar-benar menjadi sarana untuk
mensejahterakan rakyatnya. Pengelolaan baitul mal dilaksanakan secara terbuka,
bahkan sampai-sampai tidak pernah dikunci dan sengaja tidak dikunci karena
letak baitul mal berada di rumah beliau. Dan setiap lembaga penyangga
kesejahteraan rakyat ini mendapat harta, oleh khalifah langsung dibagi-bagi
kepada rakyatnya yang fakir sampai habis. Pada masa pemerintahannya pula,
negara mulai membeli unta, kuda dan senjata untuk berjuang di jalan Allah.[12]
Pada masa akhir pemerintahannya,
beliau sebelum meninggal dunia sudah merintis jalan menuju suksesi
kepemimpinan. Sejumlah sahabat dan tokoh masyarakat diundang untuk
bermusyawarah dengan maksud mempersiapkan penggantinya. Langkah ini diambil
untuk mencegah terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat islam
dalam menentukan pemimpin, dan musyawarah umat islam ini berhasil mencapai
kesepakatansoal pengganti khalifah yaitu sahabat Umar bin Khattab. Bahkan
sejarah mencatat khalifah dalam memimpin musyawarah tersebut dalam keadaan
sedang sakit.[13]
Setelah masalah internal mulai
tenang, Abu bakar merencanakan gerakan dakwah ke luar Jazirah, yaitu ke Persia
dan Romawi. Kawasan itu dapat kita bagi dalam dua kategori besar, kawasan utara
dan kawasan Syam. Kawasan utara, terdiri dari: Bahrain, Qatar, Kuwait dan Irak.
Sedangkan kawasan Syam meliputi negara Yordania, Suriah dan Libanon.[14]
Gerakan pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Abu Bakar terjadi, yang dikerjakan oleh Zaid bin Tsabit, [15]motifnya
tersebut dijelaskan dalam hadis Imam Bukhori yang menggambarkan bahwa motif
utama dikumpulkannya Al-Qur’an adalah rasa kekhawatiran sahabat Umar terhadap
masa depan islam jika para kader intinya yang menjaga islam dengan Al-Qur’an
gugur satu per satu.[16]
Sistem pemerintahan belum memisahkan
antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, kesemuanya ada di tangan khalifah,
karena memang kondisi sosial masyarakat pasca kenabian ini masih labil dan
perlu kemampuan dan keteladanan dari sang khalifah. Konsentrasi khalifah
mengarah pada usaha perlawanan dari kaum yang murtad.[17]
2. Masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644 M)
a. Biografi Singkat Umar bin Khattab
Nama lengkap Umar bin Khattab adalah
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Rabah. Beliau berasal dari bani
Adi bin Ka’ab, salah satu rumpun suku Quraisy.
Umar dilahirkan tiga belas tahun setelah tahun Gajah. Ketika Nabi
diutus, usia beliau sudah tiga puluh tahun. Awalnya, beliau termasuk orang yang
paling membenci islam. Melihat potensi beliau yang besar, beliau termasuk salah
seorang dari dua orang yang didoakan Rasulullah agar masuk dan memperkuat
barisan umat islam. Beliau masuk islam pada tahun ke-6 kenabian.
Pada masa jahiliah, beliau dikenal
dengan kefasihan lidah dan keberaniannya, dan setelah masuk islam, beliau
adalah orang yang sangat berwibawa, kuat, zuhud, adil, penyayang, berilmu, dan
sangat memahami agama. Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah sebanyak 537
hadis.
b. Umar bin Khattab Menjadi Khalifah
Dalam masa pemerintahannya, beliau
adalah negarawan yang baik, tegas dan tertib, baik dalam masalah administrasi
dan keuangan. Banyak hal baru yang tercetus dari ide beliau. Beliau menciptakan
strategi perluasan wilayah dan kebijakan buat negeri yang dibuka. Beliau kurang
tidur untuk memikirkan yang terbaik untuk rakyatnya, menegakkan keadilan,
selalu mengedepankan syura, menindak tegas gubernur yang menyimpang dari islam
dan melarang mereka untuk menyengsarakan rakyat. Beliau membuka pos layanan
pengaduan di rumahnya, dan mendirikan diwan (semacam departemen) dalam pembagian
tugas. Beliau menunjuk orang yang jelas kebaikannya untuk menduduki posisi
gubernur.
Penaggalan tahun hijriah dimulai
sejak pemerintahannya, dan beliau tidak menghalalkan uang baitul mal buat
kepentingan pribadi, beliau meninggal dunia pada hari Rabu, tanggal 26 Zulhijah
tahun 23 pada usia 63 tahun. Beliau ditusuk oleh Abu Lu’lu’ah al Majusi saat
menjadi imam shalat shubuh. Pemerintahan belliau berlangsung selama sepuluh
tahun enam bulan.[18]
Setelah khalifah dijabat oleh Umar
bin Khattab kekuasaan islam sudah meliputi Jazirah Arab, Syiria, Persia, dan
Mesir. Mengingat begitu luasnya kekuasaan islam, maka Umar bin Khattab sebagai
pemimpin melakukan penataan pemerintahan dengan mengatur sistem administrasi
negara menjadi beberapa bagian wilayah atau provinsi. Setelah provinsi
terbentuk (Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir) beliau
segera membentuk departemen-departemendalam pemerintahan. Masa pemerintahannya
juga sudah mengenalkan sistem gaji dan pajak tanah.
Masa pemerintahannya berlangsung
selama 10 tahun dari 13-23 H/ 634-644 H. Dalam kurun waktu itu banyak terobosan
yang dilakukan sehingga pada masa pemerintahannya banyak menghasilkan
kebudayaan baru. Perkembangan dan kemajuan kebudayaan islam pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab antara lain:[19]
1.)
Mulai diterapkannya tahun hijriyah.
2.)
Umat islam mulai membentuk mata uang sendiri.
3.)
Menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen
(diwan/administrasi).
4.)
Memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif.
5.)
Membagi wilayah kekuasaan islam ke dalam provinsi yang berotonomi penuh
dengan kepala pemerintahan di wilayah privinsi disebut amir.
6.)
Menetapkan wilayah Jazirah Arab hanya boleh didiami oleh kaum Muslim saja,
sedangkan untuk non-muslim diperbolehkan memilih wilayah Bizantium dan Persia.
7.)
Dalam bidang hukum didirikan pengadilan dan menetapkan: pertama, tidak
melekukan hukum potong bagi pencuri, yang mencuri karena alasan kelaparan.
Kedua, menghapus bagian zakat bagi para Mu’allaf. Ketiga, menghapus hukum kawin
mut’ah (kawin kontrak).
8.)
Mendirikan baitul mal untuk mengorganisasikan perpajakan.
9.)
Dilaksanakannya shalat taraweh pada bulan Ramadhan.
3. Masa Khalifah Usman bin Affan (644-655 M)
a. Biografi Singkat Usman bin Affan
Nama lengkapnya Utsman Bin Affan bin
Ash Bin Umayyah Bin Abdi Syams Bin Abdi Manaf. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz
dari Bani Abdi Syams. Beliau di lahirkan di Thaif, enam tahun setelah tahun
gajah. Beliau terkenal pemalu, memiliki kecerdasan akal, sangat iffah (menjaga kehormatan diri), menjaga
silahturami, takwa, panjang shalat tahajudnya, menanggis saat mengenang negeri
akhirat, tawadu, mulia dan dermawan.[20]
Beliau adalah pedagang dengan modal
sangat besar sebelum islam. Banyak hartanya beliau infakkan buat kepentingan
dakwah baik periode Mekkah maupun setelah di Madinah (Bi’r Rumah) untuk
kepentingan umat muslimin, beliau membeli tanah untuk perluasan Masjid Nabawi.
Ketika negara membutuhkan biaya besar
buat belanja pasukan sebanyak tiga
puluh ribu rang yang akan berangkat ke
Tabuk, beliau menggeluarkan harta yang sangat besar untuk keperluan ini.
Utsman adalah orang yang sangat
dekat dengan Rosulullah. Beliau digelar
Dzun Nurain karena meninkah dengan dua anak Rosulullah yaitu Ruqayyah
dan Ummu Kultsum. Beliau termasuk diantara sepuluh sahabat yang mendapat berita
gembira akan masuk syurga dan beliau akan mati syahid. Beliau meriwayatkan
hadis dari Rosulullah sebanyak 146 hadis.
Setelah Rosullulah meninggal, Abu
Bakar dan Umar sangat dekat dengan beliau dan tempat mereka berdua meminta
pendapat. Setelah Umar meninggal, beliau diangkat menjadi khalifah setelah
dipilih oleh enam orang sahabat yang dijamin masuk surga. Pada masa
pemerintahanya, beliau membuat kebijakan untuk menetapkan Al-Quran standar
untuk menghindari perpecahan di tubuh umat.
Beliau juga memperluas Masjidil
Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah. Dan pada masanya kondisi masyarakat secara sosial dan ekonomi
mengalami peningkatan pendapatan, baik pendapatan rakyat maupun negara.
b.
Usman bin Affan Menjadi Khalifah
Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung
selama 12 tahun 23-35 H / 644-655 M. Usman
bin Affan merupakan sahabat Nabi yang gigih berjuang dengan jiwa, raga dan
hartanya. Dia menggunakan sebagian besar hartanya untuk kepentingan Islam dan membekali
umat islam. Pada masa pemerintahan Abu Bakar As Sidiq dan Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan menduduki posisi penting, dan pada akhir kekhalifahan
Umar Bin Khatab dipilihnya menjadi anggota tim enam yang bertugas
memilih calon Khalifah.
Khalifah Utsman Bin Affan di kenal
memilki tabiat yang lemah lembut, budi pekerti yang baik dan pada paruh pertama
masa pemerintahanya permasalahan sosial politik masih stabil. Dalam menjalankan
tugas kekhalifahan, Utsman Bin Affan menunjuk kerabat dekatnya sebagai pembantu-pembantunya, bahkan pada
akhir masa jabatanya roda pemerintahan
banyak dikendalikan oleh kerabat dekatnya. Langkah ini di nilai oleh para
penulis sejarah Islam, Utsman bin Affan
pada posisi yang lemah dan banyak
menggundang kekecewaan masyarakat dengan kebijakan nepotisme.
Ada beberapa argementasi yang kurang
stabil sebagai konsekuensi pemerintahan transisi sehingga memerlukan
solidaritas dan kepatuhan penjabat pemerintahan di semua tingkatan. Ia
mengambil kebijakan mempersiapkan
kader-kader pemimpin masa depan dan mengangkat orang muda dan mengistirahatkan orang-orang yang sudah berusia lanjut. Wibawa
pemerintah pusat sangat sangat rapuh
terutama pada masa enam tahun kedua. Untuk mengembalikan wibawa
pemerintahan itu, harapan khalifah
Utsman Bin Affan hanya mengangkat kepada orang-orang yang menghormati dan loyal kepadanya. Hal ini didasarkan pada watak orang arab yang hanya
menggakui dan menghormati kepala sukunya saja, tindakan khalifah Utsman
bin Affan tersebut di tuduh menghina
sahabat.[21]
Kepemimipinan Utsman Bin Affan memiliki
garis kebijakan yang berbeda dengan Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pada
paruh terakhir pada masa kekhalifahanya muncul perasaan tidak puas dan kecewa
di kalangan umat islam terhadapnya. Puncak kekecewaan masyarakat
terhadap pemerintahanya adalah banyak
sahabat dekat mulai meninggalkan Utsman Bin Affan, banyak pertentangan terhadap
penjabat khalifah (amir) yang akhirnya sampai terjadinya pemberontakan dan Usman
di Affan di bunuh.
Namun pada masa khalifah Usman,
beliau menghasilkan kebudayaan yaitu:[22]
1.)
Mengizinkan
dibangunnya angkatan laut.
2.)
Membangun rumah
penjara terpisah dari masjid.
3.)
Memproklamasikan
mushaf al-Qur’an resmi yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
4.)
Memperindah
masjid Nabi di Madinah dengan bahan batu pualam.
5.)
Membangun
sarana dan prasarana umat yaitu jembatan-jembatan, jalan-jalan dan masjid.
6.)
Membangun
bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur distribusi air ke
kota-kota Madinah.
c.
Metode Dakwah Ustman bin Affan
Metode dakwah beliau dapat dilihat
dari pidato beliau di hadapan
publik setelah beliau di baiat menjadi
khalifah ke tiga :Belia Berkata:
“Sesungguhnya aku di beri tugas dan
aku terima, Ketahuilah bahwa aku ini penerus dan bukan pembuat yang baru, dan
ketahuilah bahwa kau berkewajiban
terhadap tiga hal setelah Al Quran dan As-Sunnah , yaitu mengikuti
orang-orang sebelumku yang telah kalian sepakati dan kalian ikuti, mengikuti
tradisi orang-orang baik yang di
peroleh dari orang-orang baik dan tidak
menghukum kalian kecuali jika terpaksa hukuman harus diberikan. Sesungguhnya
dunia ini hijau dan menarik bagi manusia
sehingga banyak diantara mereka yang condong kepadanya. Maka jaganlah
kalian condong dan percaya kepada dunia, karena ia tidak dapat dipercaya, dan
ketahuilah bahwa dunia ini tidak mau meninggalkan kecuali manusia sendiri yang
meninggalkanya.”[23]
Pidato Utsman memberikan
gambaran kepada kita metode dakwah beliau diantaranya :
1.)
Berdakwah
dengan melaksanakan tugas kekhalifahan yang diamanahkan secara maksimal.
2.)
Meneruskan
dakwah para pendahulunya, Rosulullah, Abu Bakar dan Umar.
3.)
Berdakwah dalam
bingkai Al-Quran dan As Sunnah.
4.)
Mengikuti
tradis yang sudah ada.
5.)
Tidak
mendahulukan menghukum dalam mendidik masyarakat.
6.)
Mengajak rakyat
agar hidup zuhud.
7.)
Pidato yang
berisi program kerja tersebut beliau wujudkan dalam masa pemerintahan beliau.
Adapun hasil
pemerintahan Utsman bin Affan yaitu:
a.
Mengizinkan
dibagunya angkatan laut.
b.
Membangun rumah
penjara terpisah dari masjid.
c.
Memproklamasikan
mushaf resmi yang di tulis Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash
dan Abdurahman bin Harits bin Hisym
d.
Memperindah
Masjid Nabi di Madinah
e.
Membanggun
bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur distribusi air-air kota
Madinah
f.
Membanggun
sarana prasarana umat,jembatan ,jalan dan masjid
Kebijakan Utsman Bin Affan dalam menjalan kan pemerintahan dalam mengambil kebijakan benar-benar diambil didasarkan pada situasi sosial politik dan kebutuhan masyarakat.
4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (655-661 M)
a. Biografi Singkat Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap Ali Bin Abi Thalib bin
Abdi Al Muthalib bin Hasyim bin Manaf
bin Qushay. Ali adalah anak paman Rosullulah Ibunya bernama Fathimah binti Asad
bin Hisyam. Beliau dilahirkan sebelum nabi di utus, dan masuk Islam ketika
berumur lima tahun. Ada yang mengatakan umur delapan tahun.
Ali dikenal sebagai pemberani,
oratur, dan sastrawan. Dalam masalah qadha beliau adalah pakarnya. Beliau
memiliki keimanan yang kuat, pemahaman islam yang baik dan memiliki kemampuan untuk memenuhi
khalayak, seperti masuknya islam penduduk Hamadhan seluruhnya di tangan beliau
dalam satu hari.
Rosulullah menjamin beliau masuk
surga dan mengabarkan bahwa beliau akan di uji keimananya oleh Allah. Beliau
tumbuh di rumah Rosulullah dan tidur di kasur Rosulullah dengan berselimut pada
malam hijrah. Beliau tidak pernah absen dalam seluruh peperangan bersama Nabi,
kecuali perang Tabuk. Di perang Badar, beliau membawa bendera kaum muslim, saat
itu ia berumur 20 tahun
Ketika Nabi Muhammad meninggal
dunia, kaum anshar mengadakan pertemuan Saqifah membahas tentang siapa yang
paling layak memimpin kaum muslimin sepeninggal Nabi. Hadir dalam ketika mendengar ada pertemuan Anshar, Abu Bakar, Umar dan Abu
Ubaidah berangkat ke majelis tersebut.
Setelah melalui perbincangan
panjang, Akirnya mereka menetapkan Abu Bakar
sebagai khalifah. Hari berikutnya dilakukan pembaitan massal di masjid
Nabawi. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Ali ikut dalam Baiat tersebut .[24]
Tetapi ada yang mengatakan bahwa
Ali baru di baiat Abu Bakar enam bulan setelah beliau dilantik.
Penyebabnya diantaranya adalah menjaga perasaan Fathimah, istrinya, yang masih
berbeda pendapat dengan Abu Bakar tentang warisan Rosulullah SAW, setelah Fathimah meninggal dunia, baru
ia membaiat Abu Bakar.
Ketika Umar menjadi khalifah, Ali
adalah salah seorang sahabat yang selalu dimintai pendapatnya. Ketika masa
Utsman, beliau sering memberi nasihat kepada Utsman dan berusaha untuk menjadi penengah saat terjadi fitnah. Setelah Utsman
meninggal dunia, khalifah dipegang oleh
Ali. Penduduk Madinah sepakat menunjuk
beliau meskipun beliau sendiri tidak
menyenangi posisi itu. Beliau mau di tunjuk
menjadi khalifah karena ingin
mencegah terjadinya fitnah besar.
b.
Ali bin Abi Thalib Menjadi Khalifah
Ali bin Abi Thalib merupakan
khalifah yang ke empat atau
khalifah ke empat atau khalifah terakhir era
pemerintahan khulafaur rasyidin. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, kondisi sosial
politik negara berada pada posisi yang paling sulit, ketidakpuasan
masyarakat dan perpecahan sahabat terjadi, bahkan konflik politik yang ada sampai berujung pada
peperangan .
Kejadian ini tidak saja menyulitkan
posisi khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menentukan arah dan kebijakan khalifah selaku pemegang
kekuasaan, persoalan konflik internal
dan eksternal tersebut juga berdampak
pada terhambatnya perkembangan
kebudayaan islam dan masa
pemerintahanya, karena konsentrasi pemerintahanya tersedot menangani persoalan konflik politik
dan peperangan.
Kebijakan dengan melakukan pergantian
penjabat tinggi dan mutasi pejabat yang diangkat khalifah Utsman Bin Affan, ternyata
justru menimbulkan masalah baru dalam menjalankan roda pemerintahan , terlebih
lagi diikuti adanya benih-benih
perpecahan di kalangan sahabat sendiri baik yang disebabkan oleh faktor kepentingan politik maupu tuntutan balas dan kematian Khilafah
Utsman Bin Affan.
Selama pemerintahan Ali Bin Abi
Thalib. selalu timbul pemberontakan yang terus menerus, tidak ada masa
sedikitpun dapat dikatakan stabil.Konflik sosial politik pada masa ini terjadi disebabkan oleh:
1.) Ali Bin Abi Thalib dia
angkat menjadi khalifah yang ke empat tidak di baiat secara bulat oleh kaum
muslimin, bahkan tokoh-tokoh muslim yang
pada masa hidupnya dikenal sangat dekat dengan Nabi sampai beberapa waktu
lamanya tidak segera membaiat Ali misalnya Zubar, Tolhah bahkan Aisyah sendiri
tidak mau membaiat Ali Bin Abi Thalib.
2.)
Persoalan kaum
muslim yang mengancam disintegrasi
bangsa pada saat itu juga di picu oleh kebijakan khaliah sebelumnya
yaitu pada masa Utsman binAffan yang memunculkan kekecewaan sebagaian besar kaum
muslimin.
c.
Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib
Untuk mengatasi kondisi perpolitikan
dalam negeri yang tidak stabil, khalifah Ali Bin Abi Thalib melakukan tindakan
antara lain :
1.)
Mengganti
gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman bin Affan.
2.)
Menarik kembali
tanah yang dihadiahkan oleh Utsman Bin Affan
kepada penduduk dan menyerahkan hasilnya
kepada negara memakai kembli sistem distribusi pajak yang pernah di
berlakukan pada masa umar bin khatab.
3.)
Dan di hapus
pada masa khalifah Utsman Bin Affan.
4.)
Memindah pusat
pemerintahan dari Madinah ke Mekah [25]
Kebijakan khalifah ini diambil
mempunyai maksud baik, karena menurutnya Instabilitas dalam negeri yang muncul
itu di sebabkan karena Kebijakan Utsman
Bin Affan, sehingga untuk mengembalikan
stabilitas politik dalam negeri maka
menurutnya penyebabnya harus dihapuskan
dengan mengganti para pejabat
tinggi yang diangkat oleh sahabat
Utsman Bin Affan. Namun justru dengan melakukan tindakan tersebut malah
menjadi bumerang bagi kelangsungan pemerintahanya.
Ketidakpuasaan di lingkungan
sahabat atas kebijakan Ali Bin
Abi Thalib dengan menunda-nunda penuntasan
dan menghukum pembunuh Utsman Bin
Affan, menjadi pemicu pecahnya perang antara khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan kekuatan yang di motori oleh Aisyah, Thalhah
dan Zubair yang kemudian dikenal dengan
perang Jamal (perang onta) dan bisa diselesaikan dan dimenangkan oleh Pihak Ali
Bin Abi Thalib.
Setelah perang Jamal diselesaikan,
beliau berhadapan dengan pihak oposisi yang terdiri dari golongan orang-orang
yang kehilangan jabatan penting akibat kebijakannya. Barisan orang-orang kecewa
ini bergabung dengan kekuatan gubernur Damaskus Muawiyah bin Abi Sofyan untuk
melakukan penentangan terhadap khalifah. Peperanganpun juga tidak bisa
dihindarkan, dua pasukan bertemu di sebuah tempat yang sekaligus menjadi nama
perang itu sendiri yaitu Siffin, sehingga peperangannyapun dikenal dengan nama
perang Siffin. Peperangan siffin diakhiri dengan perundingan atau tahkim
(arbitrase) antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Menurut catatan
sejarah hasil perundingan ini merugikan khalifah Ali dan menguntungkan
Mu’awiyah.[26]
Tahkim Siffin tidak saja merugikan
Khalifah Ali dan menguntungkan Mu’awiyah dari sisi politik, dari sisi
sosiologis pun sahabat Ali juga rugi, karena dengan perisiwa tersebut kekuatan
pendukung khalifah menjadi berkurang. Pada periode akhir masa pemerintahan
khalifah Ali kekuatan politik umat islam terbelah menjadi empat kelompok, yaitu kelompok pendukung Khalifah
Ali (Syiah), kelompok khawarij yaitu orang-orang yang tadinya mendukung atau
ikut khalifah Ali kemudian keluar dari barisan Ali dan kelompok umat islam yang
tidak berada pada kubu khalifah Ali, khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin
Umar bin Khattab dan kelompok terakhir adalah pengikut Mu’awiyah bin Abi
Sofyan. Kondisi ini hanya menjadikan semakin lemah posisi khalifah dalam
menghadapi benih-benih perpecahan dalam tubuh umat islam.[27]
Berawal dari persoalan politik
internal umat islam yang tidak terselesaikan dengan baik oleh khalifah Ali
inilah kemudian persoalan politik umat islam bergeser dari sistem kekhalifahan
menjadi sistem kerajaan yang absolute berada dalam kekuasaan Mu’awiyah. Maka
soal pergantian kepemimpinan (khalifah) terjadi perubahan mendasar, dari sistem
musyawarah yang menempatkan kedaulatan umat islam menjadi faktor penting
bergeser ke sistem kerajaan yang penentuan suksesi kepemimpinannya berlangsung
secara turun-temurun.Penyimpangan kaidah pergantian kepemimpinan inilah yang
oleh Abul A’la Al-Maududi dikatakan sebagai penerapan sistem kerajaan dalam
pemerintahan islam. Karena memang kenyataannya pemerintahan khalifah yang
digantikan oleh Mu’awiyah prinsip musyawarah ini sengaja ditinggalkan dan
digantikannya dengan sistem kerajaan.[28]
D.
Ciri-Ciri Umum
Dakwah Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Adapun yang dapat di ketahui ciri
ciri pemerintahan pada masa kulafaur rasyidin sebagai berikut:[29]
1.
Kader-kader
terbaik Rosulullah telah memimpin pemerintahan Islam selama tiga puluh tahun. Kekuatan
iman yang ada di dada mereka menciptakan
motivasi yang kuat untuk melakukan aktivitasa dakwah ke luar jazirah Arabia. Motif dakwah tersebut
membuat kaum muslim tidak pernah lelah
melakukan perjalanan panjang
membuka negeri demi negeri untuk menyiarkan Islam. Aktivitas
tersebut di dalam sejarah Islam di kenal sebagai Futuhat Islamiyah.
2.
Sarana terbesar
dakwah pada masa ini (kurang dari 30 tahun) adalah pemerintahan dan kekuasaan. Lewat
media pemerintahan para khalifah
menentukan kebijakan dan strategi
dakwah baik untuk masyarakat Islam atau
di luar masyarakat Islam.
3.
Futuhat
Islamiyah yang di lakukan oleh para sahabat
selalu di ikuti oleh
perluasan pemikiran islam. Mayoritas
penduduk yang didatangi oleh kaum muslim memeluk islam
karena pilihan mereka. Mereka memandang Islam kaum muslim
bukan sebagai hantu yaang menakutkan, tetapi ibarat kapal penyelamat
yang siap membawa mereka ke pulau impian.
4.
Kesibukan kaum
muslim membuka wilayah dakwah baru tidak
membuat mereka lupa memelihara dan mengembangkan pemikiran islam.
Diantara
gerakan yang paling menonjol Khulafaur Rasyidin adalah sebagai berikut:
1.
Menjaga keutuhan
Al-Qur’an al-Karim dan menggumpulkan
dalam bentuk mushaf pada masa Abu bakar.
2.
Memberlakukan
mushaf standar pada masa Utsman Bin Affan.
3.
Keseriusan
mereka mencari dan mengajarkan ilmu dan
memerangi kebodohan berislam para penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Ustman dikirim ke
berbagai pelosok untuk menyiarkan islam. Mereka mengajarkan islam dan sunah rasul
kepada banyak pendudukn negeri yang sudah di buka.
4.
Sebagian orang yang
tidak senang kepada islam, terutama kepada pihak orientalis pada abad ke-19
banyak yang mempelajari fenomena futuhat islamiyah dan menafsirkannya dengan
motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif
ekonomi, yaitu mencari dan meggaruk kekayaan negeri yang ditundukan. Interpretasi
ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang berbicara bahwa bergeraknya para sahabat karena iman
yang bersemayam hidup di dada mereka.
5.
Islam pada masa
awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i dan
panglima, tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Para
khalifah adalah penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’i
dan juga panglima perang . Da’i pada masa awal tidak dipahami sebagaimana
pemahaman kita hari ini.[30]
Meskipun tugas da’i diemban setiap orang
, tetapi setiap orang memiliki kecenderungan terhadap sesuatu. Diantara sahabat
Nabi ada orang yang kecenderungan ilmiahnya lebih tinggi dari sisi lain, sehingga
ada yang tdak terlalu berminat menekuni bidang perdagangan atau pertanian, atau
aktivitas bisnis lainya termasuk kelompok ini adalah Abdullah Bin Mashub, Muadz Bin Jabal dan
Abdullah bin Ummi Maktum dan sahabat-sahabat lain yang diutus rosul, kesuatu
tempat atau sahabat yang diminta untuk menjadi pejabat sementara negara pada
saat Nabi dan sahabat lainya sedang keluar berperang.
Keadaan seperti ini berlangsung
cukup lama. Negara tidak mengenal orang yang berfungsi sebagai da’i, semua adalah
da’i dan jika diminta untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya maka mereka
langsung menyampaikanya. Jika mereka diminta fatwanya, dia akan memberikan
fatwa yang ia denggar dari Rosulullah, gema halaqah-halaqah
ilmiah terdengar disetiap tempat, terutama dikota kota besar, seperti Mekkah,
Madinah, Basrah, Mesir, Syam dan kota-kota lainya.
Kondisi ini berlangsung sampai akhir
masa pemerintahan khulafaur rasyidin. Masalah dakwah tidak ditekuni oleh orang
tertentu tetapi masuk dalam tugas yang lain, seperti taklim, tahfidz al-Qur’an,
mengumpulkan zakat, melakukan qadha, memberikan fatwa dan tugas penting lainya.Materi
nasihat dan pengarahan yang disampaikan pada masa khulafaur rasyidin tidak
lepas dari al-Qur’an dan sunnah atau materi yang dikembangkan dari dua sumber
diatas atau materi yang masih berada dalam bingkai al-Qur’an dan sunnah. Liat
saja sebagai contoh, bagaimana isi pidato, ceramah dan khotbah dari para
khalifah, semua tidak keluar dari bingkai al-Qur’an dan sunnah. Generasi ini
memang menyibukkan diri dengan kesungguhan beramal di dalam negeri dan
melakukan jihad untuk politik luar negeri. Waktu mereka hanya mereka sumbangkan
untuk dua hal di atas.
E. Ibrah (Pelajaran Berharga)
Dari perjalanan kepemimpinan yang
dijalankan oleh khulafaur rasyidin, kita sebagai umat islam dapat mengambil
beberapa pelajaran atau ibrah yang sangat berharga untuk kehidupan umat islam.
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq merupakan sosok pemimpin yang tegas serta teguh
dalam menjalankan kebenaran. Kita dapat pula
mencontoh terhadap terhada khalifah umar bin khatab serta peletak
dasar-dasr demokrasi islam. Utsman bin
Affan dalam memimpin umat islam selalu
menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan pendekatan secara persuasif. Khlifah
yang terakhir Ali Bin Abi Thalib, dalam kepemimpinanya selalu bersikap tegas, disiplin serta memiliki watak yang agak
keras ketika harus membela sebuah
kebenaran. Dari Khulafaur rasyidin dengan prestasi-prestasinya, kita dapat
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kepentingan masa sekarang dan untuk
masa yang akan datang antara lain:
1.
Umat islam hendaknya selalu
menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai figur panutan dalam segala urusan
kehidupan.
2.
Umat islam hendaknya dapat menjaga
persatuan dan kesatuan,
Umat islam diharapkan selalu
memiliki semangat kerja dan etos kerja yang tinggi, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh khulafaur rasyidin dalam mengemban amanat, untuk menyiarkan agama islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
perjalanan agama islam tidak hanya terhenti sampai masa kenabian atau pada masa
Rasulullah saja, akan tetapi sejarah perkembangan agama islam terus berkembang
sampai sekarang.
Penerusan
kepemimpinan agama pasca Rasul wafat selanjutnya dialihkan kepada empat para
sahabat rasul atau dikenal dengan masa kekhalifahan, yang diangkat sesuai
dengan ajaran Nabi dalam hal memutuskan sesuatu hendaknya dengan musyawarah dan
demokratis. Yang selanjutnya pada setiap masa kepemimpinan empat khalifah itu
menghasilkan berbagai kebudayaan serta perkembangan dakwah islam yang lebih
luas.
Metode
dakwah dan perjalan dakwah yang ditempuh oleh setiap khalifah tentu berbeda,
akan tetapi pada setiap perjalanan dakwah mereka semua, menerapkan dakwah yang
sama yaitu memperluas ajaran islam, menyelesaikan setiap masalah sesuai dengan
ajaran islam serta menghasilkan beberapa kebudayaan baru.
B.
Kritik
dan Saran
Tentu sebagai umat islam hendaknya
kita mengetahui serta memahami sejarah perkembangan agama islam, sehingga
dengan begitu setidaknya kita dapat mengambil pelajaran pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada sejarah perkembangan islam, agar
menjadikan kita lebih bijaksana lagi dalam hal bersikap.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quraibi, Ibrahim. 2009. Tarikh Khulafa. Jakarta: Qisthi Press.
Ummatin, Khoiro. 2015. Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal. Yogyakarta: Kalimedia.
Sou’yb, Joesoef. 1979. Sejarah Dakwah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Akademika. 2009. Kondisi
Umat Islam Pasca Rasul Wafat. http://akademika-odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html.
diakses pada hari sabtu tanggal 26 Maret 2016.
Murad, Musthafa. 2012. Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq. Jakarta: Zaman.
Ilaihi, Wahyu dkk. 2007. Pengantar Sejarah Dakwah Cet.1. Jakarta: Kencana.
Sayyid, Majdi Fathi. 2003. Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Gema Insani.
Yatim, Badri. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1986. Pengantar Sejarah Muslim. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Al-Maududi, Abul A’la. 1998. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Krisis Atas Sejarah
Pemerintahan
Islam. Bandung: Mizan.
[1] Ibrahim
al-Quraibi, Tarikh Khulafa, (Jakarta:Qisthi
Press, 2009), hlm.13.
[2] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015),
hlm.55-56.
[3] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Dakwah Khulafaur
Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.18-19.
[4]
Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca
Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html,
diakses pada hari sabtu tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.
[5] Khoiro
Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan
Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.56-58.
[6] Musthafa
Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq, (Jakarta:
Zaman, 2012), hlm.109.
[7]
Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca
Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html,
diakses pada hari sabtu tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.
[8] Khoiro
Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan
Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.70.
[9] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm.83-84.
[10] Ibid., hlm.84-85.
[11]
Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al
Shiddiq, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm.144-145.
[12] Majdi
Fathi Sayyid, Mari Mengenal Khulafaur
Rasyidin, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm.18.
[13] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015),
hlm.63.
[14] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.87-90.
[15] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Raja Grfindo Persada, 1997), hlm.36-37.
[16] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm.92-93.
[17] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015),
hlm.61.
[18] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm.94-95.
[19] Khoiro
Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan
Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.64-65.
[20] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1,
(Jakarta : Kencana, 2007), hlm.99.
[21]
Nourouzzaman Shiddiqqi, Pengantar Sejarah
Muslim, (Yogyakarta: Nur Cahaya,
1986), hlm.124-125.
[22] Khoiro
Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan
Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.67-68.
[23] Wahyu
Ilahi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm.100.
[24] Ibid., hlm.102.
[25] Khoiro
Ummatin , Sejarah Islam dan Budaya Lokal,
(Yogyakarta: Kalimedia, 2015),
hlm.70-71.
[26] Ibid., hlm.71-72.
[27] Hassan
Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogykarta:
Kota Kembang, 1989), hlm.62-63.
[28] Abul
A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,
Evaluasi Krisis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1998),
hlm.201-202.
[29] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.
[30] Wahyu
Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.
Silahkan berkomentar dengan sopan dan beradab :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon