KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi
rabbil’aalaamiin. Puji dan syukur kami panjatkan atas
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan sehat yang tak terhingga
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga shalawat serta
salam kami curahkan kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti
sekarang ini.
Dalam
makalah ini yang berjudul “DAKWAH NABI YAKUB A.S”, kami membuatnya
berdasarkan dari berbagai referensi yang berkaitan dengan mata kuliah Tafsir
Ayat-Ayat Dakwah. Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat untuk
semua dan dapat menambah wawasan bagi kita semua pada khususnya bagi para
pembaca.
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
kami sangat menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi
perbaikan makalah ini menuju yang lebih baik.
Yogyakarta,
12 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang .......................................................................................................... 3
B.
Rumusan
Masalah `.................................................................................................... 3
C.
Tujuan
....................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Dakwah Nabi Ya’qub................................................................................................. 5
B. Kisah Nabi Ya’qub ............................................................................................. ...... 6
C. Mukjizat Nabi Ya’qub................................................................................................ 10
C. Ayat-ayat Mengenai Dakwah Nabi Ya’qub dan Tafsirannya..................................... 11
C. Kontekstualisasi Dakwah Nabi Ya’qub dengan Zaman Sekarang ............................ 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 24
B. Saran .......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah senantiasa menurunkan utusan-Nya
kepada suatu kaum untuk memimpin suatu kaum tersebut kejalan lurus yaitu jalan Allah.
Telah banyak nabi-nabi Allah yang Allah utus, namun kebanyakan dari kita hanya
mengenal beberapa nabi saja. Karena keterbatasan manusialah, Nabi dan para
utusan yang senantiasa diutus Tuhan, ita hanya mengenal 25. Salah satunya ialah
Nabi Ya’qub. Beliau merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim putra kedua dari Nabi
Ishaq. Beliau lahir dari Ibu bernama Ribka.
Beliau adalah orang yang sabar lagi penyayang, Nabi Ya’qub merupakan
bapa dari kaum Yahudi karena keturunan Nabi Ya’qub menjadi pemuka-pemuka
Yahudi.
Dalam proses berdakwah terhadap
kaumnya, beliau tidak begitu banyak disebutkan bagaimana dakwahnya, karena pada
dasarnya kaum pada saat itu masih taat terhadap agama yang diajarkan oleh Nabi
Ibrahim. Nabi Ya’qub lebih banyak menyerukan ajaran Allah kepada keluarganya.
Seperti halnya ketika beliau menjelang ajal, beliau berpesan kepada
putra-putranya agar senantiasa menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim
dan menyembah Tuhan yang disembah Nabi Ibrahim pula.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari uraian latar belakang diatas penulis akan menjelaskan tulisan ini melalui
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Dakwah Nabi Ya’qub AS?
2.
Bagaimana
Kisah Nabi Ya’qub AS?
3.
Bagaimana
Mukjizat Nabi Ya’qub AS?
4.
Apa
saja ayat tentang dakwah Nabi Ya’qub dan bagaimana penafsirannya?
5.
Bagaimana
dakwah Nabi Ya’qub terhadap zaman sekarang?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
dari uraian rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui dan memahami tentang dakwah Nabi Ya’qub AS.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami kisah Nabi Ya’qub AS.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami mukjizat Nabi Ya’qub AS.
4.
Untuk
mengetahui dan memahami ayat-ayat tentang dakwah Nabi Ya’qub AS.
5.
Untuk
mengetahui dan memahami kontekstualisasi dakwah Nabi Ya’qub dengan zaman
sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dakwah Nabi Ya’qub
Dikatakan[1],
bahwa saat Nabi Ishaq menikah dengan Ribka binti Betuel, ia berusia 40 tahun .
namun kala itu ayahnya, Nabi Ibrahim masih hidup .
Ternyata ribka adalah seorang wanita yang mandul. Setelah menyadari
hal itu, Nabi Ishaq berdoa kepada Allah, dan Ribka melahirkan dua putra
sekaligus (kembar). Putra pertama diberi nama Esau, yang kemudian menjadi bapak
dari bangsa Romawi. Dan anak yang keduanya diberi nama Ya’qub (yang jika
diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “setelah”), karena ia terlahir tepat
setelah kelahiran kakaknya, Esau. Ya’qub inilah yang kemudian disebut dengan
nama israel, bapak dari bani israel.[2]
Garis Keturunan: Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah
⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra'u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim as ⇒ Ishaq as ⇒ Ya'qub as.
Usia: 147
tahun
Periode
sejarah: 1837 - 1690 SM
Tempat
diutus (lokasi): Syam (Syria/Siria)
Jumlah
keturunannya (anak): 12 anak
Tempat
wafat: Al-Khalil (Hebron)
Sebutan
kaumnya: Bangsa Kan'an
di Al-Quran
namanya disebutkan sebanyak 18 kali
Yakub (atau Ya'aqub atau Yaqub
atau Ya'akov atau Yaqov atau Ya'qub atau Yaiqob), disebut
juga dengan nama Israel (atau Israil atau Yisrael) adalah leluhur bangsa
Israel.
1. Dakwah Nabi Yakub
Ya'qub hijrah dari negeri Kan'an menuju Faddan Aram atau Padan-Aram
(Harran), sebelah utara Irak, ke tempat paman dari jalur ibunya, Laban. Ya'qub
tinggal di Harran cukup lama. Beliau lantas menikahi sepupunya, Putri Laban.
Kemudian beliau kembali kepada keluarganya (di Kan'an atau Kana'an) setelah
Allah menganugerahinya sepuluh putra dari sepupunya dan istrinya yang lain.
Setelah Ya'qub kembali ke negeri Kan'an (Yabus). Allah menganugerahinya
lagi dua putra, Yaitu Yusuf dan Bunyamin. Dengan demikian, jumlah putranya
menjadi dua belas orang. Di tempat itulah dia menyempurnakan risalah ayahnya,
Ishaq dan kakeknya Ibrahim, untuk menyeru pada ajaran Allah.
Ketika Allah menganugerahi Yusuf gelar kenabian dan jabatan Menteri
Keuangan pada masa Hesos, Ya'qub dan anak-anaknya berangkat menemui Yusuf di
Mesir. Sementara itu, Yusuf telah memaafkan perbuatan saudara-saudaranya
dahulu, seperti yang disebutkan dalam surah Yusuf. Dengan demikian, bangsa
Israil memasuki Mesir dan menetap disana untuk beberapa waktu. Pada sat itulah
nabi Ya'qub wafat, dan tubuhnya sempat dipertahankan, kemudian dipindahkan ke
Palestina dan dimakamkan disana, sesuai dengan permintaannya. Beliau dimakamkan
di Gua al-Makfilah, di kota Hebron (al-Khalil). Wasiat Nabi Ya'qub Kepada
Anaknya yang Termaktub dalam Al-Qur'an.
"Apakah kalian menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya'qub, ketika
dia berkata kepada anak-anaknya, 'Apa yang kalian sembah sepeninggalku?' Mereka
menjawab, 'Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, yaitu Ibrahim,
Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa, dan kami (hanya) berserah diri
kepada-Nya," (QS. Al-Baqarah [2]: 133).[3]
Dalam dakwah beliau, beliau selalu menekankan dakwah terhadap keluarganya,
seperti bahwasanya terhadap anka-anaknya. Beliau sungguh menekankan aqidah
seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 133. Dalam hubungan beliau
dengan anaknya pun sangat memperhatikan, seperti halnya mengenai mimpi Yusuf
yang tak boleh diberitahukan kepada saudaranya, karena takut akan saudaranya
yang akan melakukan hal yang tidak baik, karena Ya’qub sendiri sudah tahu arti
mimpi tersebut.
2. Kisah Nabi Ya'qub
Nabi Ya'qub adalah putera dari Nabi Ishaq bin Ibrahim sedang ibunya adalah
anak saudara dari Nabi Ibrahim, bernama Rifqah binti A'zar. Ishaq mempunyai
anak kembar, satu Ya'qub dan satu lagi bernama Ishu. Antara kedua saudara
kembar ini tidak terdapat suasana rukun dan damai serta tidak ada menaruh
kasih-sayang satu terhadap yang lain bahkan Ishu mendendam terhadap Ya'qub
saudara kembarnya yang memang dimanjakan dan lebih disayangi serta dicintai
oleh ibunya. Hubungan mereka yang renggang dan tidak akrab itu makin buruk dan
tegang setelah diketahui oleh Ishu bahwa Ya'qublah yang diajukan oleh ibunya
ketika ayahnya minta kedatangan anak-anaknya untuk diberkahi dan didoakan,
sedangkan dia tidak diberitahu dan karenanya tidak mendapat kesempatan seperti
Ya'qub memperoleh berkah dan doa ayahnya, Nabi Ishaq.
Melihat sikap saudaranya yang bersikap kaku dan dingin dan mendengar
kata-kata sindirannya yang timbul dari rasa dengki, bahkan ia selalu diancam.
Maka, datanglah Ya'qub kepada ayahnya mengadukan sikap permusuhan itu. Ya'qub
berkata mengeluh : "Wahai ayahku! Tolonglah berikan pikiran kepadaku,
bagaimana harus aku menghadapi saudaraku Ishu yang membenciku mendendam dengki
kepadaku dan selalu menyindirku dengan kata-kata yang menyakitkan hatiku,
sehingga hubungan persaudaraan kami berdua renggang dan tegang, tidak ada
saling cinta mencintai dan saling sayang-menyayangi. Dia marah karena ayah
memberkati dan mendoakan aku agar aku memperolehi keturunan soleh, rezeki yang
mudah dan kehidupan yang makmur serta kemewahan . Dia menyombongkan diri dengan
kedua orang isterinya dari suku Kana'an dan mengancam bahwa anak-anaknya dari
kedua isteri itu akan menjadi saingan berat bagi anak-anakku kelak dalam
pencarian dan penghidupan dan macam-macam ancaman lain yang menyesakkan hatiku.
Tolonglah ayah berikan aku pikiran bagaimana aku dapat mengatasi masalah ini
serta mengatasinya dengan cara kekeluargaan.
Berkata Nabi Ishaq yang memang sudah merasa kesal hati melihat hubungan
kedua puteranya yang makin hari makin meruncing: "Wahai anakku, karena
umurku yang sudah lanjut aku tidak dapat menengahi kamu berdua. Ubanku sudah
menutupi seluruh kepalaku, raut mukaku sudah berkerut dan aku sudah berada di
ambang pintu perpisahan dari kamu dan meninggalkan dunia yang fana ini. Aku
khawatir bila aku sudah menutup usia, gangguan saudaramu Ishu kepadamu akan
makin meningkat dan ia secara terbuka akan memusuhimu, berusaha mencari
kecelakaan mu dan kebinasaanmu. Ia dalam usahanya memusuhimu akan mendapat
sokongan dan pertolongan dan saudara-saudara iparnya yang berpengaruh dan
berwibawa di negeri ini. Maka jalan yang terbaik bagimu, menurut pikiranku,
engkau harus pergi meninggalkan negeri ini dan berhijrah ke Fadan A'raam di
daerah Irak, di mana bapak saudaramu yaitu saudara ibumu, Laban bin Batu'il.
Engkau dapat dikawinkan kepada salah seorang puterinya. Oleh yang demikian,
menjadi kuatlah kedudukan sosialmu, agar disegani dan dihormati orang karena
kedudukan mertuamu yang menonjol di mata masyarkat. Pergilah engkau ke sana
dengan iringan doa dariku. Semoga Allah memberkati perjalananmu, memberi rezeki
murah dan mudah serta kehidupan yang tenang dan tenteram.
Nasihat dan anjuran si ayah mendapat tempat dalam hati Ya'qub. Melihat
dalam anjuran ayahnya jalan keluar yang dikehendaki dari krisis hubungan
persaudaraan antaranya dan Ishu, dengan mengikuti saran itu, dia akan dapat
bertemu dengan bapak saudaranya dan anggota-anggota keluarganya dari pihak
ibunya. Ya'qub segera berkemas-kemas dan membungkus barang-barang yang
diperlukan dalam perjalanan dan dengan hati yang sedih dia meminta restu kepada
ayahnya dan ibunya ketika akan meninggalkan rumah.
3. Nabi Ya'qub Tiba di Iraq
Dengan melalui jalan pasir dan Sahara yang luas dengan panas mataharinya
yang terik dan angin samumnya {panas} yang membakar kulit, Ya'qub meneruskan
perjalanan seorang diri, menuju ke Fadan A'ram dimana bapak saudaranya Laban
tinggal. Dalam perjalanan yang jauh itu, ia sesekali berhenti beristirahat bila
merasa letih. Dan dalam salah satu tempat perhentiannya, lalu tertidurlah Ya'qub
di bawah sebuah batu karang yang besar. Dalam tidurnya yang nyenyak, ia
mendapat mimpi bahwa ia dikurniakan rezeki yang luas, penghidupan yang aman
damai, keluarga dan anak cucu yang soleh dan bakti serta kerajaan yang besar
dan makmur. Terbangunlah Ya'qub dari tidurnya, mengusapkan matanya menoleh ke
kanan dan ke kiri dan sadarlah ia bahwa apa yang dilihatnya hanyalah sebuah
mimpi namun ia percaya bahwa mimpinya itu akan menjadi kenyataan di kemudian
hari sesuai dengan doa ayahnya yang masih tetap mendengung di telinganya.
Akhirnya, Ya'qub sampai di kota Fadan A'ram. Sesampainya di salah satu
persimpangan jalan, dia berhenti sebentar bertanya ke salah seorang penduduk di
mana letaknya rumah saudara ibunya Laban barada. Laban seorang kaya-raya,
pemilik dari suatu perusahaan perternakan yang terbesar di kota itu tidak sukar
bagi seseorang untuk menemukan alamatnya. Penduduk yang ditanyanya itu segera
menunjuk ke arah seorang gadis cantik yang sedang menggembala kambing seraya
berkata kepada Ya'qub: "Kebetulan sekali, itulah dia anak perempuan
Laban, Rahil, yang akan dapat membawa kamu ke rumah ayahnya".
Dengan hati yang berdebar, pergilah Ya'qub menghampiri seorang gadis ayu
dan cantik itu, lalu dengan suara yang terputus-putus seakan-akan ada sesuatu
yang mengikat lidahnya, Ya'qub mengenalkan diri, bahwa ia adalah saudara
sepupunya sendiri. Rifqah ibunya, saudara kandung dari ayah si gadis itu,
Laban. Diterangkan lagi kepada Rahil, tujuannya datang ke Fadam A'raam dari
Kan'aan. Mendengar kata-kata Ya'qub yang bertujuan hendak menemui ayahnya,
Laban, dan untuk menyampaikan pesana Ishaq. Maka, dengan senang hati, Rahil
(anak gadis Laban) mempersilakan Ya'qub mengikutinya balik ke rumah untuk
menemui ayahnya, Laban.
Setelah berjumpa, Laban bin Batu'il, menyediakan tempat dan bilik khas
untuk anak saudaranya itu, Ya'qub, yang tiada bedanya dengan tempat-tempat anak
kandungnya sendiri, dengan senang hati Ya'qub tinggal di rumah Laban seperti
rumah sendiri.
Ya'qub tinggal di Harran cukup lama. Beliau lantas menikahi sepupunya,
Putri Laban. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya (di Kan'an atau
Kana'an) setelah Allah menganugerahinya sepuluh putra dari sepupunya dan
istrinya yang lain. Setelah Ya'qub kembali ke negeri Kan'an (Yabus). Allah
menganugerahinya lagi dua putra, Yaitu Yusuf dan Bunyamin. Dengan demikian,
jumlah putranya menjadi dua belas orang. Di tempat itulah dia menyempurnakan
risalah ayahnya, Ishaq, dan kakeknya, Ibrahim, untuk menyeru pada ajaran Allah.
Ketika Allah menganugerahi Yusuf gelar kenabian dan jabatan Menteri
Keuangan pada masa Hesos, Ya'qub dan anak-anaknya berangkat menemui Yusuf di
Mesir. Sementara itu, Yusuf telah memaafkan perbuatan saudara-saudaranya
dahulu, seperti yang disebutkan dalam surah Yusuf. Dengan demikian, bangsa
Israil memasuki Mesir dan menetap disana untuk beberapa waktu. Pada saat itulah
nabi Ya'qub wafat, dan tubuhnya sempat dipertahankan, kemudian dipindahkan ke
Palestina dan dimakamkan disana, sesuai dengan permintaannya. Beliau dimakamkan
di Gua al-Makfilah, di kota Hebron (al-Khalil).[4]
4.
Mukjizat
Nabi Ya’qub As
Mukjizat
beliau yaitu ketika mengambil potongan dahan pohon lauz (badam) yang masih
basah dan berwarna putih, lalu mengupas kulitnya dengan warna hitam bercampur
putih dan menaruhnya ditempat minumnya, supaya dengan demikian itu kambing itu
melihatnya dan merasa takut karenanya sehingga anak yang berada di perutnya
bergerak-gerak , lalu warna anaknya itu berwarna seperti warna dahan kayu
tersebut. Dan demikian itu merupakan sesuatu yang diluar kebiasaan dan termasuk
mukjizat. Akhirnya Ya’qub mempunyai kambing yang sangat banyak dan hewan-hewan
lainnya.[5]
Kemampuan dan keahlian beliau dalam peternakan tidak sewajarnya dilakukan oleh
orang banyak, beliau mampu menghasilkan anak kambing dalam jumlah yang banyak
serta berwarna tersebut.
5. Kontradiksi Kisah Nabi Ya’qub AS dalam Alkitab dan Al-Qur’an
Dalam
tradisi Yahudi
dan Kristen
Yakub adalah tokoh yang kontroversial. Namanya sendiri, Yakub dalam bahasa
Ibrani berarti cerdik. Tidak mengherankan apabila tingkah-lakunya penuh
dengan muslihat. Kitab Kejadian melukiskan bahwa bahkan sejak di
dalam kandungan ibunya, Yakub telah berseteru dengan Esau, kembarnya yang
sulung. Setelah semakin
besar, Yakub dan Esau memperlihatkan pribadi yang bertolak belakang pula. Yakub
lebih suka tinggal di kemah bersama orang tuanya, sementara Esau lebih suka
berburu. Yakub menjadi anak kesayangan ibunya, Ribka, sementara
Esau disayangi ayahnya, Ishak.
a. Mencuri hak kesulungan
Pada
suatu hari, ketika Esau pulang berburu dan merasa sangat lelah dan lapar, ia
mencium bau masakan yang sangat lezat yang dimasak oleh Yakub. Ia ingin
mencicipi sedikit saja masakan itu, namun Yakub menolaknya. "Juallah dulu
kepadaku hak kesulungan-mu,"
kata Yakub. Tanpa berpikir panjang, Esau menyetujuinya, bahkan dengan sumpah.
Kitab Kejadian tidak serta-merta mempersalahkan Yakub dalam hal ini,
melainkan lebih menyalahkan Esau karena ia telah "memandang ringan hak
kesulungan itu." Ketika Ishak semakin lanjut usianya, Yakub yang merasa
belum yakin akan hak kesulungan yang telah dicurinya itu, kembali berulah
dengan pertolongan ibunya. Ia mencuri berkat kesulungan Ishak dengan menyamar
sebagai Esau (Kejadian
27). Akibatnya, Esau murka dan berniat membunuh Yakub. Karena itu Yakub
melarikan diri ke rumah pamannya, Laban, di Padan-Aram, Mesopotamia.
b. Menipu Laban
Setelah
mendapatkan keturunan dari Lea dan Rahel, khususnya setelah Yusuf lahir, Yakub
berniat kembali ke kampung halamannya. Sebelum itu, Laban berjanji membayar
Yakub untuk pekerjaannya. Yakub "hanya" meminta kambing-domba yang
hitam, berbintik-bintik dan belang-belang sebagai upahnya (Kejadian 30:25-43).
Sementara Laban bebas mengambil semua kambing-domba yang putih. Pengalamannya
sebagai penggembala telah mengajar Yakub tentang hukum keturunan (yang kelak
dikenal sebagai hukum Mendel). Dengan
demikian Yakub mendapatkan ternak yang bagus-bagus, sementara Laban mendapatkan
yang kurang bagus.[6]
Kesimpulannya,
dalam hal ini tentu saling bertentangan dengan kisah Nabi Ya’qub menurut orang
islam atau menurut kitab suci Al-Qur’an seperti yang sudah dijelaskan diawal
mengenai kisah dan bagaimana dakwah Nabi Ya’qub. Dalam kisah yang dipaparkan di
atas tidak ada yang namanya merebut kesulungan esau atau bahkan menipu laban
pamannya.
B.
Ayat
Mengenai Dakwah Nabi Ya’qub dan Tafsirannya
Tafsir Ibnu
Katsir
وَوَهَبْناَ
لَهُ اِسْحاَقَ وَيَعْقُوباَ ناَفِلَةً وَكُلاَ جَعَلْناَصاَلِحِيْن
“Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim)
Ishaq dan Ya’qub, sebagai suatu anugrah dari kami. Dan masing-masing kami
jadikan orang-orang yang saleh.” (Al-Anbiyaa: 72)
وَوَهَبْناَ
لَهُ اِسْحاَقَ وَيَعْقُوباَ ناَفِلَةً
“Dan Kami telah
memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub, sebagai suatu anugrah (dari
kami). (Al-anbiya: 72)
Ata Mujahid,
Atiyyah, Ibnu Abbas, Qatadah, dan Al-Hakam Ibnu Uyaynah mengatakan, bahwa Nafilah
adalah cucu laki-laki. Yakni Ya’qub adalah anak Ishak.
فَبَشَّرْناَ
هاَ بِاِسْحاَقَ وَمِنْ وَرَاءِاِسْحاَقَ يَعْقُوْبَ
“Maka kami sampaikan
kepadanya berita gembira tentang
(kelahiran) Ishaq, dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya’qub. (QS. Hud 71)
Abdur Rahman
ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan ingin meminta seorang putera. Untuk itu ia
mengatakan seperti yang disebut dalam firman Allah SWT :
رَبَّ
هَبْ لِيْ مٍنَ الصَلِحِيْنَ
“Ya Allah, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shafat:100)
Maka Allah memberinya
seorang putera bernama Ishaq, lalu Ya’qub, sebagai suatu anugerah dari-Nya.
وَكُلاَ
جَعَلْناَصاَلِحِيْنَ
“Dan
masing-masing kami jadikan orng-orang yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’:72)
Yaitu semuanya
menjadi orang yang baik lagi sholeh.
وَوَهَبْناَ
لَهُ اِسْحاَقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِيْ ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ
وَالْكِتَبَ وَءاتَيْنَهُ اَجْرَهُ فِي الدُّنْياَ وإِنَهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ
الصَّلِحِنَ
Artinya:
“Dan kami
anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Alkitab
pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia, dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang shalih”.
Dalam firman
Allah Ta’ala وَوَهَبْناَ لَهُ اِسْحاَقَ
وَيَعْقُوبَ, “Dan
kami anugerahkan kepaa Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub,” yaitu tatkala dia berpisah dengan kaumnya, Allah memberikan dambaan
hati dengan lahirnya seorang anak shalih yang menjadi Nabi dan diberinya dia
cucu shalih yang menjadi Nabi pula si masa hidup kakeknya. Demikian Allah Ta’ala
berfirman :
{ وَوَهَبْناَ
لَهُ اِسْحاَقَ وَيَعْقُوباَ ناَفِلَةً} “Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya’qub,
sebagai suatu anugerah daripada Kami”. (QS.
Al-Anbiyaa’:72) , yaitu tambahan, di mana anak ini dianugerahkan seorang anak
di masa keduanya hidup yang menjadi dambaanhati keduanya, Ya’qub menjadi anak
Ishaq telah dinashkan oleh Al-Quran dan ditetapkan oleh sunnah Nabawiyyah.
Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ
لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ
آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ
لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu
hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya". (QS.
Al-Baqarah :133).
Dan di dalam ash shabihain dijelaskan:
إِنَّ
الْكَرِيْمَ ابْنِ الْكَرِيْمِ ابْنِ الْكَرِيْمِ يُوسُفُ بْنِ يَعْقُوبَ بْنِ
إسْحاَ قَ بْنِ إِبْرَاهِيْمِ ععَلَيْهِمَ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
Artinya:
“Sesungguhnya
orang mulia anak orang yang mulia yaitu Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.
Dan firman Allah : وَجَعَلْنَا
فِيْ ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَبَ. Dan
kami jadikan kenabian dan AlKitab pada keturunannya”. Ini adalah anugerah umur yang cukup besar disamping Allah telah
menjadikan Khalil serta menjadikannya sebagai Imam seluruh manusia dengan
dijadikannya kenabian dan alKitab pada keturunannya. Tidak ada satu Nabi pun
setelah Ibrahim kecuali pasti dari keturunannya. Maka seluruh Nabi Bani Israel
adaah keturunan Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, hingga terakhir adalah ‘Isa bin
Maryam. Dimana dia datang dari tokoh-tokoh mereka guna membawa kabar gembira
tentang Nabi bebangsa Qurais dan Hasyimi, sebagai penutup para Rasul dan
pemimpin anak Adam di dunia maupun di akhirat. Dia dipilih oleh Allah dari
bangsa Arab Aribah keturunan Ismail bin Ibrahim. Dan tidak ada satu Nabi pun
yang berasal dari keturunan Isma’il selain Muhammad. FirmanNya :
وَءاتَيْنَهُ
اَجْرَهُ فِي الدُّنْياَ وإِنَهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ الصَّلِحِنَ
“dan Kami
berikan kepadanya balasan di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang yang shalih”. Yaitu
Allah menjelaskan tentang digabungkannya kebahagiaannya di dunia maupun di
akhirat. Di dunia ria mendapatkan rizki yang luas dan indah, kediaman yaang
tenteram, saluran air yang tawar, isteri yang baik lagi sholihah, pujian yang
baik serta sebutan yang terhormat, serta seseorang yang mencintai dan loyal
padanya. Sebagaimana Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah dan lain-lain berkata: “Dengan
tetap teguh dan taat kepada Allah dari seluruh segi”. Sebagaimana Firman
Allah: { وَإِبْرَاهِيمَ
الَّذِي وَفَّىٰ}
“dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji” (QS. An-Najm:37). Yaitu, teguh dalam seluruh apa yang
diperintahkanNya dan sempurna dalam
mentaati Rabbnya. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman :
وَءاتَيْنَهُ
اَجْرَهُ فِي الدُّنْياَ وإِنَهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ الصَّلِحِنَ
“dan Kami
berikan kepadanya balasan di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang yang shalih”.[7]
Tafsir Al-azhar
أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133)
تِلْكَ
أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا
تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ(134)
أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي
"Atau apakah kamu menyaksikan, seketika telah dekat kepada Ya'qub
kematian, tatkala dia berkata kepada anakanaknya: Apakah yang akan kamu sembah
sepeninggalku?" (pangkal ayat 133).
Atau apakah kamu menyaksikan? Suatu pertanyaan yang bersifat
pengingkaran. Pertanyaan yang dihadapkan kepada orang Yahudi ataupun Nasrani,
yang mengatakan bahwa Ismail a.s. atau Ya'qub a.s. adalah pemeluk agama Yahudi,
ataupun agama Nasrani. Datang pertanyaan seperti ini yang maksudnya boleh
diartikan: Apakah kamu tahu benar apa wasiat Ya'qub a. s. kepada anak-anaknya
tidak lain adalah menanyakan, “apakah atau siapakah yang akan kamu sembah,
kalau aku telah meninggal dunia?” jelas apa bunyi jawaban daripada anak-anaknya
itu. Di dalam ayat ini diterangkan :
قَالُوا
نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
"Mereka menjawab : Kami akan rnenyembah Tuhan engkau dan Tuhan
bapak-bapakmu Ibrahim dan Ismail dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Tunggal, dan
kepadaNya lah kami akan menyerah diri. " (ujung ayat 133).
Di ujung ayat ini dijelaskanlah bahwa jawaban anak-anak Ya'qub a.s.,
tidak berubah sedikit juga pun dengan apa yang telah mereka pegang teguh selama
ini, yaitu agama ayah mereka dan datuk nenek mereka, tidak ada Tuhan yang lain,
melainkan Allah. Sesudah mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah,
merekapun mengaku pula, bahwa tempat menyerahkan diri hanya Allah itu pula,
tidak ada yang lain, dan itulah yang disebut di dalam bahasa Arab: ISLAM.
Sekarang datang pertanyaan kepada Ahlul-Kitab, terutama Yahudi, karena
mereka yang banyak berdiam di Madinah seketika ayat turun, dan termasuk juga
Nasrani, apakah mereka ada menyaksikan ada kata lain dan wasiat yang lain
daripada Ya'qub a.s.? Atau adakah jawaban anak-anaknya, termasuk Nabi Yusuf
a.s., yang mengatakan mereka akan bertuhan kepada yang selain Allah? Yaitu
Tuhan Datuk mereka Ibrahim a. s. dan Nenek mereka Ismail a.s. dan Ishak a.s.? Atau
dapatkah mereka mengemukakan sesuatu kesaksianpun yang menyatakan bahwa
anak-anak Nabi Ya'qub a.s. itu menjawab bahwa mereka tidak akan menyerahkan
diri kepada Allah ?
Dapatkah mereka mengemukakan suatu kesaksian bahwa Ya'qub a.s.
meninggalkan suatu wasiat, bahwa jika dia telah meninggal dunia, hendaklah
mereka menukar agama mereka menjadi Yahudi? Atau agama Nasrani? Atau ada mereka
menjawab wasiat ayah mereka bahwa mereka hendak menukar agama sepeninggal
beliau, tidak lagi berserah diri (Islam) kepada Allah, tetapi membuat satu
kelompok yang bernama Yahudi, ataupun Nasrani?
Baik dari segi akal budi, mereka tidak akan dapat mengemukakan kesaksian
yang demikian. Tidak mungkin menurut akal bahwa mereka tidak akan mengakui
keesaan Allah, dan tidak pula mungkin menukar penyerahan diri ajaran Ibrahim
a.s., Ismail a.s. dan Ishak a.s. dan Ya'qub a.s. dengan ajaran lain.
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu Kitab Kejadian, Pasal 48 dan 49
memang ada tertulis panjang lebar wasiat-wasiat Ya'qub a.s. kepada anak-anaknya
ketika dia akan meninggalkan dunia. Di dalam Pasal-pasal itu memang tidak
bertemu bunyi wasiat yang sejelas di dalam al-Qur'an ini, bahwa anak-anak
Ya'qub a.s. berjanji tidak akan mengubah-ubah agama pusaka Ibrahim a.s. dan
Ismail a.s. dan Ishak a.s.. Di Pasal 49 hanya bertemu wasiat-wasiat Ya'qub a.s.
tentang kedudukan anak-anak, cucu dan keturunannya di belakang hari, disebutkan
satu demi satu kedudukan mereka di dalam masyarakat, bahwa Yahudi akan begini,
Benyamin akan begitu, Reubin akan demikian nasibnya, keturunan Yusufpun begitu.
Tetapi sungguhpun demikian apabila kita baca sejak timbulnya Nabi Ibrahim
a.s. (dahulunya Abraham) dalam Kitab Kejadian Pasal 12, sampai lahir anaknya
yang tertua Ismail a.s. dan anak yang kedua Ishak a.s., dan kehidupan kedua
anak itu, disambung lagi oleh kehidupan Ya'qub a.s. dan Yusuf a.s., tidak lain
daripada agama datuk mereka Ibrahim a. s.. Maka kalau di dalam ayat-ayat Kitab
yang terdahulu itu, sebab aslinya tidak ada lagi, tidak begitu jelas dasar
agama Ibrahim itu, datanglah al-Qur'an menjelaskan bahwa agama itu Islam
namanya, yaitu penyerahan diri. Dan Tujuan itu ialah Allah yang tiada bersekutu
dengan yang lain.
Di dalam Surat Hud (Surat 11 ayat 71 ), ada dikisahkan seketika beberapa
Malaikat datang membawa kabar yang menggembirakan kepada Ibrahim a.s. dan
isterinya Sarah yang mandul, bahwa mereka akan diberi putera, yaitu Ishak a.s..
Dan dibelakang Ishak a.s. itu akan diberi pula seorang lagi, yaitu Ya'qub a.s..
Maka beberapa Zending Kristen yang belum mendalami seluk beluk bahasa Arab
mencoba menyalahkan al-Qur'an dan menyalahkan Nabi Muhammad s.a.w Sebab dia
memaharnkan kata-kata Min wara-i Berarti di belakang Ishak ialah Ya'qub,
artinya ialah Sarah akan beranak lagi sesudah Ishak, ialah Ya'qub. Padahal maksud
ayat ialah menerangkan bahwa kelak Ishak. itu akan berputera Ya'qub sebagai
turunan dari Ibrahim, akan menurunkan putera-putera yang banyak, sehingga
keturunan Ibrahim akan banyak meriap laksana pasir di pantai, dari keturunan
Ya'qub itu.
Maka ayat 133 Surat al-Baqarah ini memberikan keterangan lebih jelas
lagi, dari penjawaban anak-anak Ya'qub a.s. yang berbunyi : "Tuhan
bapak-bapakmu Ibrahim dan Ismail dan Ishak." Disini jelaslah bahwa
Ishak a.s. saudara tua dari Ya'qub a.s., melainkan bapaknya. Sebagai juga
Ismail a.s. dan Ibrahim a.s. adalah bapak-bapaknya juga. Kalau di dalam ayat
ini Ismail a.s. disebutkan bapaknya pula, sama sajalah dia dengan kebiasaan
bahasa Melayu (Indonesia) sendiri yang menyebutkan paman (saudara ayah) sebagai
bapak juga. Saudara ayah yang sulung disebut orang bapak tua (pak tua) dan
saudara ayah yang bungsu disebut orang bapak kecil (pak Cik atau pak bungsu).
Dan Ibrahim disebutnya juga bapaknya, sesuai dengan bahasa Inggris menyebutkan
nenek Grandfather, atau bahasa Belanda Grootvader.
Dan lagi dalam bahasa Arab, sejak dari ayah kandung, lalu kepada nenek,
lalu kepada datuk-nenek yang di atas disebut bapak-bapak.
تِلْكَ
أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ
"Mereka itu adalah umat yang telah lampau." (pangkal ayat 134).
Setelah ayat-ayat yang diatas menguraikan panjang lebar dari hal Nabi
Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishak a.s. dan menurunkan Bani Israil,
menjadi kebanggaanlah pada umat keturunan mereka yang mendengar ayat-ayat ini,
apabila nenek-moyang rnereka diperkatakan. Memang nama-nama yang mulia itu
telah meninggalkan bekas sejarah yang baik, tetapi mereka sekarang sudah tak
ada lagi. Memang keturunan Ibrahim, dari Bani Ismail dan Bani Israil adalah
pendukung ajaran Ketuhanan yang murni, yaitu pengakuan atas keesaan Tuhan,
tetapi hanya tinggal riwayat:
لَهَا
مَا كَسَبَتْ
"Mereka akan beroleh apa yang telah mereka usahakan. "
Artinya, bahwasanya segala usaha mereka, perjuangan mereka, suka dan duka
mereka di dalarn menegakkan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa, yang tidak
bersekutu yang lain dengan Dia, tidaklah lepas dari tilikan Tuhan Allah:
وَلَكُمْ
مَا كَسَبْتُمْ
"Dan
kamupun akan beroleh (pula) hasil dari apa yang kamu usahakan. "
Artinya tidaklah kamu yang datang di belakang ini akan
mendapat pahala dari hasil usaha umat yang telah lampau itu. Tidak pada
tempatnya kamu membanggakan hasil usaha umat yang telah lampau itu, yang telah
istirahat di alam kubur, sedang kamu tidak berusaha melanjutkannya. Kamu baru
akan mendapat pahala, kalau kamu membuat usaha sendiri pula:
وَلَا
تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan tidaklah kamu akan diperiksa dari hal apa yang telah mereka
kerjakan."(ujung ayat 134).
Salah atau benar hasil usaha orang yang telah terdahulu itu tidaklah ada
sangkut-pautnya dengan kamu yang datang di belakang, barulah mendapat pahala
pula kalau kamu menghasilkan pekerjaan yang baik. Dan kalau sisa peninggalan
dari orang yang terdahulu itu salah, tidak perlu kamu cela dan nista, sebab
yang berdosa bukanlah kamu, melainkan mereka sendiri. Kalau kamu pandang
perbuatan mereka itu salah, jauhilah kesalahan semacam itu dan jangan sampai
terulang lagi. Karena kalau kamu ulang lagi, kamu pula yang akan berdosa karena
salahmu. Karena pentingnya peringatan ayat ini, kelak akan diperingatkan lagi,
dalam kata yang serupa, pada ayat 141.
Tafsir Ibnu
Katsir
أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ
مُسْلِمُونَ (133)
تِلْكَ
أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا
تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ(134)
Artinya :
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan
tanda-tanda maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apakah yang kamu
sembah sepeninggalanku?”, kemudian mereka menjawab, “Kami akan menyembah
Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq (yaitu) Rabb
yang Mahaesa dan kami hanya tunduk kepadanya.” (QS. 2:133) Itu adalah umat yang
lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu
usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang
telah mereka kerjakan. (QS. 2:134)
Allah SWT berfirman sebagai hujjah atas orang-orang
musyrik Arab dari anak keturunan Ismail dan juga atas orang-orang kafir dari
keturunan Israil, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s, bahwa ketika kematian
menjemputnya, Ya’qub berwasiat kepada anak-anaknya supaya beribadah kepada
Allah semata, yang tiada sekutu bagiNya. Ya’qub berkata :
(مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ) “Apa yang
kamu sembah sepeninggalanku?”, kemudian mereka menjawab, “Kami akan menyembah
Rabb-mu dan Rabb nenk moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq. Hal ini
termasuk bab taghlib (penyamarataan), karena sebenarnya Ismail adalah paman
Ya’qub.
An-Nahhas mengatakan : Masyarakat Arab biasa menyebut
paman dengan sebutan ayah”. Seperti yang dinukilkan oleh al-Qurthubi.
Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang-orang yang
menjadikan kedudukan kakek sebagaimana kedudukan ayah sehingga keberadaannya
menghalangi (menutupi) saudara-saudara dalam memperoleh harta warisan.
Sebagaimana hal ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, dari jalan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Kemudian Bukhari
mengatakan, “Dan tidak ada yang menyelisihi pendapat itu. Dan itu pula yng
menjadi pendapat Asiyah, Ummul mukmini.”
Hal itu juga dikemukakan pleh Hasan al-Bashri, Thawus,
dan Atha’ juga merupakan pendapat Abu Hanifah serta beberapa ulama shalaf dan
khalaf. Sedangkan Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mengatakan bahwa bapak berbagi
dengan para saudara dalam warisan. Pendapat ini diriwayatkan pula dari Umar bin
Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bi Tsabit,
dan sekelompok ulama salaf dan khalaf, serta menjadi piliha dua sahabat Abu Hanifah
yaitu al-Qardhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Dan untuk penetapan ini perlu
ada pembahasan khusus.
Firman Allah (إِلَٰهًا
وَاحِدًا) “(Yaitu) Allah yang Mahaesa” artinya,
kami mengesakan dalam penghambaan kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan
suatu apapun. (وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ) “Dan
hanya kepadaNya-lah kami berserah diri.” Maksudnya, kami benar-benar taat
dan tunduk, sebagaimana firman-nya :
( وَلَهُ
أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ
يُرْجَعُونَ) "padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan." (QS. Al-Imran: 83)
Islam adalah agama seluruh nabi,
meskipun syari’at berbeda dan manhaj merekapun berlainan. Firman Allah Ta’ala:
(وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ
إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al-Anbiyaa’:25).
Cukup banyak ayat-ayat Al-Quran dan juga
hadits-hadits Rasululah SAW Yang membahas masalah ini diantaranya sabda beliau:
(نَحْنُ
مَعْشَرُ اْلأَنْبِياَ ءِ أَوْلاَدُ عَلاَّتٍ دِيْنُناَ وَاحِد)
“Kami
para Nabi adalah anak-anak yang berlainan Ibu, sedang agama kami
adalah satu” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Firman Allah Ta’ala (تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ) “Itu adalah umatku yang telah lalu.” Artinya telah
lewat (لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا
كَسَبْتُمْ) “Baginya apa yang telah
diusahakannya dan bagi kamu apa yang telah kamu usahakan.” Maksudnya,
sesungguhnya pengakuan kalian sebagaianak keturunan umat yang telah terdahulu
yaitu para Nabi dan orang-orang shalih tidak akan memberi manfaat jika kalian
tidak berbuat kebakan yang menguntungkan diri kalian sendiri, karena amal
perbuatan mereka itu untuk diri mereka sendiri dan amal perbuatan kalian untuk
diri kalian sendiri. (وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا
كَانُوا يَعْمَلُونَ) “Dan kamu tidak akan diminta
pertanggung jawaban mengenai apa yang telah mereka kerjakan.”
Mengenai firman Allah Ta’ala (تِلْكَ
أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ) “Itu adalah umatku yang
telah lalu.” Abu al-Aliyah, Rabi’ bin Anas, dan Qatadah mengatakan, “Yakni
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan ana cucunya” Oleh karena itu dalam sebuah
atsar disebutkan:
مَنْ
أَبْطَأَ بِهِ عَمضلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat dalam beramal, maka tidak dapat dipercepat oleh
nasab keturunannya”
C.
Kontekstualisasi
Zaman Sekarang
Nabi Ya’qub yang memilki dua belas anak yang saling ada perbedaan di
antaranya tersebut sangat luar biasa dalam pendidikan aqidah terhadap kedua
belas anaknya. Yang sampai akhir hayatnya tersebut beliau masih saja
menyampaikan dan berpesan mengenai aqidah anaknya itu nanti. Dalam hal ini
dapat kita simpulkan bahwa perbuatan beliau dapat kita ambil ibrah darinya,
yaitu bagaimana orang tua zaman sekarang dalam menanamkan aqidah islami
terhadap anaknya. Yang dapat kita simpulkan dari beberapa poin dalam peran
orang tua terhadap pembangunan aqidah anaknya, yaitu sebagai berikut:
1.
Menanamkan Aqidah pada Anak Sejak Dini
Dengan Mewarnai kalbu mereka yang
masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya, sangat baik
untuk mengenalkan aqidah mereka. Sehingga di saat mereka beranjak dewasa, kita
akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga melihat anak-anaknya
tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Diin yang mantap serta
siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang untuk menegakkan
Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya
kepada, dan karena Allah semata.[8]
Anak ketika baru lahir berada dalam
keadaan tidak berdaya dan dalam keadaan fitrah dengan potensi-potensi untuk
bertumbuh dan berkembang. Hal ini mengundang bantuan dan pengaruh orang tua
untuk mengarahkan dan memanfaatkannya sesuai dengan perkembangan dan kesiapan
anak untuk menerimanya berlandaskan nilai-nilai dan norma-norma Islam.
2.
Orang tua
sebagai teladan bagi anak-anaknya.
Orang tua dalam mendidik
anak-anaknya tidak cukup hanya dengan nasehat-nasehat, dalam arti memberikan
pengetahuan tentang nilai dan sikap yang baik saja, akan tetapi harus dimulai
dengan mendidik diri sendiri, yaitu dengan memberi contoh terlebih dahulu
kepada anak-anaknya. Sikap dan perilaku terpuji orang tua terhadap anaknya
mencerminkan ia mempunyai kepribadian luhur yang akan dijadikan contoh ideal
bagi perilaku pribadinya sehari-hari.
3.
Kewibawaan
orang tua sebagai pendidik anaknya dirumah.
Orang tua yang memiliki kewibawaan
adalah orang tua yang mengetahui norma dan perilaku yang baik serta berusaha
hidup sesuai dengan nilai dan norma yang diyakini, sehingga anak dapat
mengidentifikasikan dirinya dengan pribadi orang tuanya. Tingkat kewibawaan
orang tua terhadap anak-anaknya sebanding dengan tingkat realisasi nilai dan
norma dalam pribadinya.
4.
Orang tua
adalah pendidik yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya.
Syariat Islam telah menjadikan orang
tua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak dengan dasar bahwa anak
adalah amanah Tuhan untuk dipelihara dan akan dipertanggungjawabkan dihadapan
Tuhan kelak.
5.
Hubungan dan
suasana kekeluargaan yang memberikan rasa aman dan cinta kasih kepada anak.
Suasana rumah tangga yang baik
ditandai oleh hubungan dan suasana kekeluargaan yang harmonis, sehingga setiap
anggotanya merasakan aman dan tentram yang diliputi oleh rasa cinta kasih
sayang. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Musthafa Fahmi : “Kebutuhan akan
kasih sayang adalah kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh anak, si anak memerlukan
suatu perasaan bahwa ada kasih sayang yang memberikan kehangatan baginya.”
(Prof. Dr.Mushafa Fahmi,1974 : 56).
Perasaan aman dalam jiwa meliputi
tiga syarat pokok, yaitu : kasih sayang, penerimaan, dan kestabilan. Perasaan
anak bahwa ia disayangi orang tuanya adalah sangat penting bagi pertumbuhannya,
baik dari segi emosi, biologi maupun mental anak.
Kasih sayang tidak dapat berperan
baik dalam membuat anak merasa aman, kecuali apabila anak merasa bahwa dirinya
diterima dalam keluarga, ia mendapat tempat dalam keluarga dan anak merasa
orang tuanya telah berkorban untuk kebahagiaannya. Adapun kestabilan keluaraga
juga sangat penting bagi pencapaian rasa aman anak. Semakin harmonis hubungan
antar anggota keluarga maka pertumbuhan anak akan semakin stabil pula. Dan
sebaliknya apabila lingkungan keluarga itu goncang, tidak ada kesesuaian,
miskin dari nilai-nilai moral, maka pertumbuhan anak terhambat, jiwanya goncang
dan tidak stabil. [9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas telah
disebutkan bahwasanya Nabi Ya’qub merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim yang
merupakan dikenal dengan bapak kaum yahudi, karena pada keduabelas turunan Nabi
Ya’qub tersebut selanjutnya menjadi imam para kaum keturunannya. Dalam
dakwahnya beliau selalu menekankan aspek aqidah terhadap anaknya, seperti yang
terdapat dalam al-Baqarah ayat 133.
B.
Saran
Dari materi yang telah kita uraikan
diatas, kita sebagai umat Islam tentunya harus senantiasa berbuat baik terhadap
sesama manusia. Seperti halnya dalam keluarga yang dapat kita ambil ibrah dari
dakwahnya Nabi Ya’qub, menjalin ukhuwah terhadap sesama manusia, terutama dalam
hubungan di keluarga. Terutama penanaman aqidah.
Dalam penulisan makalah ini kami
menyadari akan banyaknya kekurangan yang ada dalam makalah kami ini, maka untuk
dari itu kami memohon saran dan kritik yang baik untuk perbaikan makalah kami
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Katsir, Ibnu. 2014. Kisah Para Nabi, Terj, Cet.5 (Qashash
Al-Anbiyaa’). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Luqman, Ridwan Ibnu, https://ridhwanibnuluqman.wordpress.com/2011/10/10/nabi-yakub-as-dalam-al-quran-dan-al-kitab/, Diakses pada tanggal Rabu,
09 November 2016 Pukul 12.37.
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Bin Ishaq Al-Syaikh.
2003. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
http://dakwahsyariah.blogspot.co.id/2011/05/nabi-yaqub-alaihissalam.html. Dakwah Sayriah. Nabi dan Rasul
(Nabi Ya’qub). Diakses pada tanggal 22 November 2016 Pukul 10.17.
Yusuf, Ustadz Abu Hamzah. Menanamkan Pondasi Aqidah yang Kokoh
Sejak Usia Dini (Bulletin Al Wala wal
Bara Edisi ke-10. 2003. http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/8.htm diakses pada tanggal 22
November 2016.
Turisqoh,
Futicha. 2009. Skripsi Peranan Orang Tua terhadap Akhlak Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam, Cirebon: STAI Cirebon.
PERTANYAAN
1.
NOTO NAGORO SABDO GUSTI
a.
Bagaimana
Dakwah Nabi Ya’qub AS?
b.
Bagaimana
mukjizat Nabi Ya’qub?
c.
Bagaimana
Kontekstualisasi dakwah Nabi Ya’qub terhadap zaman sekarang?
d.
Bagaimana
dan Kenapa Esau dan Ya’qub tidak akur?
[1] Lihat,
Kitab Taurat/Perjanjian Lama (Kejadian 25:20-24), dan juga Kitab Tarikh
Ath-Thabari (1/317-321).
[2] Ibnu
Katsir, Kisah Para Nabi, Terj, Cet.5 (Qashash Al-Anbiyaa’), (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm.366.
[3][3]
Dakwah Syariah, Nabi Dan
Rasul (Nabi Ya’qub), http://dakwahsyariah.blogspot.co.id/2011/05/nabi-yaqub-alaihissalam.html Diakses
pada tanggal 22 November 2016 Pukul. 10.17.
[4]
Dakwah Syariah, Nabi Dan Rasul
(Nabi Ya’qub), http://dakwahsyariah.blogspot.co.id/2011/05/nabi-yaqub-alaihissalam.html Diakses
pada tanggal 22 November 2016 Pukul. 10.17.
[5] Ibnu
Katsir, Kisah Para Nabi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm.264.
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Yakub,
Diakses pada tanggal 26 November 2016, Pukul 10.05.
[7] Dr,
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Bin Ishaq Al-Syaikh, Tafsir Ibnu
Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003). Hal: 324-326.
[8] Ustadz
Abu Hamzah Yusuf, Menanamkan Pondasi Aqidah yang Kokoh Sejak Usia Dini (Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-10, 2003), http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/8.htm diakses pada tanggal 22 November 2016.
[9] Futicha
Turisqoh, Skripsi Peranan Orang Tua terhadap Akhlak Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam, (Cirebon: STAI Cirebon, 2009), Hlm. 18-24.
Silahkan berkomentar dengan sopan dan beradab :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon