Penafsiran Al-Qur'an




PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Al-Qur’an/Al-Hadits
Dosen Pengampu : M. Fajrul Munawir


 



Disusun Oleh :
Ajeng Suci Wulandari  15220009
Anom Sarianingsih      15220046
Endang Santika            15220048

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2016



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................      ii
DAFTAR ISI......................................................................................................     iii
BABB I PENDAHULUAN..............................................................................      1
A.    Latar Belakang Masalah..........................................................................      1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................      2
C.     Tujuan Penulisan.....................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................      3
A.    Pengertian Tafsir.....................................................................................      3
B.     Pengertian Ta’wil dan Terjemahan..........................................................      7
C.     Sejarah Perkembangan Tafsir..................................................................    11
D.    Pembukuan/Kodefikasi Tafsir.................................................................    16           
E.     Metodologi Penafsiran Al-Qur’an..........................................................    17
F.      Hikmah Tafsir Al-Quran.........................................................................    32
G.    Keterkaitan Tafsir dengan BKI..............................................................    33
BAB III PENUTUP ..........................................................................................    35
A.    Kesimpulan.............................................................................................    35
B.     Kritik dan Saran......................................................................................    35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................    36

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alaamiin. Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan nikmat dan sehat yang tak terhingga sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga shalawat serta salam saya curahkan kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam makalah ini  yang berjudul “PENAFSIRAN AL-QUR’AN”, kami membuatnya guna memenuhi tugas mata kuliah yaitu Al-Qur;an/Al-Hadits  yang diampu oleh Bapak M. Fajrul Munawir. Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan dapat menambah wawasan bagi kita semua pada khususnya bagi para pembaca.
Makalah yang kami buat ini berdasarkan dari berbagai referensi yang berkaitan dengan mata kuliah Al-Qur’an/Al-Hadits. Kami ucapkan terima kasih kepada bapak M. Fajrul Munawir  selaku dosen pengampu mata kuliah Al-Qur’an/Al-Hadits yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,  kami sangat menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan makalah ini menuju yang lebih baik.

Yogyakarta, 22 Maret 2016

Penulis
                                                        
















                                                                                 


                                                         BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 213, ditegaskan bahwa dulunya kehidupan manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan hanya karena suatu kedengkian maka terjadilah perselisihan yang berlanjut secara terus menerus. Di sisi lain, dengan lajunya perkembangan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, muncullah persoalan-persoalan baru yang memerlukan penyelesaian. Untuk menjawab keadaan itu, Allah mengutus para rasul yang berfungsi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Bersama diutusnya rasul, diturunkan pula Al-kitab yang berfungsi menyelesaikan perselisihan dan menemukan jalan keluar dari berbagai problem yang dihadapi manusia.
Fungsi dari Al-Qur’an itu sendiri merupakan pedoman bagi kehidupan manusia dalam hal menyelesaikan segala problemnya. Akan tetapi harus diakui bahwa Al-Qur’an merupakan merupakan kitab yang masih global dalam ayat-ayatnya, yang memerlukan suatu pemikiran ataupun penelitian terhadapnya untuk dapat dipahami secara rinci dan benar. Banyaknya ayat-ayat yang global tersebut bukan berarti melemahkan peran Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum islam, akan tetapi malah menjadikannya bersifat universal, yang bisa mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Dalam hal tersebut tentunya kita sebagai umat islam yang baik perlu adanya pemusatan pikiran atau penelitian dan pengkajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global tersebut, yang dapat menghasilkan berupa suatu ketetapan hukum dan maksud dari ayat yang dikehendaki oleh-Nya itulah diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu dalam hal tersebut adanya cara atau metode yang ada pada ilmu penafsiran itu, jadi tidak bisa sembarangan dalam hal menfsirkan ayat Al-Qur’an karena dapat mengakibatkan kesalahan yang fatal.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas penulis akan menjelaskan tulisan ini melalui beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Tafsir?
2.      Apa yang dimaksud dengan Ta’wil dan Terjemah?
3.      Bagaimana sejarah Perkembangan Tafsir?
4.      Bagaimana Pembukuan/Kodifikasi Tafsir?
5.      Bagaimana Metodologi dalam Penafsiran Al-Qur’an?
6.      Apa hikmah mempelajari ilmu Tafsir?
                                          
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan dari uraian rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian Tafsir .
2.      Untuk mengetahui dan memahami  pengertian Ta’wil dan Terjemah..
3.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Sejarah Perkembangan Tafsir.
4.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Pembukuan/Kodifikasi Tafsir.
5.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Metode-metode yang dilakukan dalam Penafsiran Al-Qur’an.
6.      Untuk mengetahui hikmah mempelajari imu tafsir.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir
Istilah tafsir di dalam al-Qur’an dapat dilihat pada surat al-Furqaan (25): 33 yang berbunyi:
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
 Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik”.
Maksudnya, setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan sesuatu yang benar dan nyata. Al Qur’an penuh dengan kebenaran dan kejelasan. Kandungannya hak (benar) dan tidak dicampuri kebatilan dan syubhat, sedangkan lafaz-lafaznya begitu jelas. Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa sepatutnya bagi orang yang berbicara tentang ilmu, baik yang menyampaikan hadits, pengajar dan penasehat mengikuti Tuhannya dalam menyesuaikan ayat-ayat-Nya dengan keadaan rasul-Nya, oleh karenanya ia membawakan ayat-ayat, hadits-hadits dan nasehat yang sesuai yang sesuai dengan kondisi. Dalam ayat ini juga terdapat bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan yang semisal mereka yang memandang bahwa nash-nash Al Qur’an harus dibawa kepada selain zhahirnya, dan bahwa ia memiliki makna selain yang dipahami darinya.[1]

 Secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf  fa, sin dan ra itu berarti  keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.[2] Ahmad al- Syirbashi  memaparkan ada dua makna tafsir dikalangan ulama, yakni: (1) keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam al-Qur’an yang dapat menyampaikan pengertian yang dikehendaki, (2) merupakan bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat.[3]
 Banyak ulama mengemukakan pengertian tafsir yang pada intinya bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat di mengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum. Karena yang dijelaskan dan diterangkan itu ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum jelas, maka tafsir al-Qur’an berarti menerangkan dan menjelaskan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat al-Qur’an.[4] Menurut Dr. Abd. Muin Salim, ada tiga konsep yang terkandung dalam istilah tafsir, yaitu: pertama, kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an; kedua, ilmu-ilmu (pengetahuan) yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut; ketiga, ilmu (pengetahuan) yang merupakan hasil kegiatan ilmiah tersebut. Ketiga konsep diatas tidak dapat dipisahkan sebagai proses, alat dan hasil yang ingin dicapai dalam tafsir.[5] Masih banyak lagi pengertian mengenai tafsir yang dikemukakan oleh para ulama seperti oleh Thahir al-Jazairy, Syaikh Al-Jurjani dan lain sebagainya, perbedaan tersebut bukan dalam arti satu sama lain antara salah dan benar, bahkan satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
 Dalam hal menafsirkan al-Qur’an haruslah melalui penafsiran ayat-ayatnya, dan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terlebih dahulu haruslah dipahami makna lafazh-lafazhnya. Dengan demikian bila seseorang ingin memahami kandundan isi al-Quran, maka ia harus memahami kandungan ayat per ayatnya. Untuk memahami kandungan sesuatu ayat al-Qur’an ia harus tahu makna lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam rangkaian ayat tersebut. Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah ditegaskan, bahwa tafsir ialah :
Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Quran atau ayat-ayatnya  atau lafazh-lafazhnya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.”
Unsur-unsur pokok untuk memahami pengertian tafsir sebagai berikut:
1.      Hakekatnya ialah menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur’an, yang sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global.
2.      Tujuannya untuk memperjelas apa yang sulit dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an, sehingga apa yang dikehendaki oleh allah dalam firmannya itu dapat dipahami dan dihayati.
3.      Sasarannya agar al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi sebagai tujuan al-Qur’an itu diturunkan.
4.      Sarana pendukung pekerjaan menafsirkan al-Qur’an itu meliputi berbagai ilmu yang berhubungan dengan itu.
5.      Bahwa upaya menafsirkan al-Qur’an bukan untuk memastikan demikianlah yang dikehendaki Allah dalam firmannya, namun pencarian makna itu hanyalah menurut  kadar kemampuan manusia dengan keterbatasan ilmunya.[6]
Pengertian tafsir dan ilmu tafsir tentu berbeda, ilmu tafsir yaitu ilmu yang membahas tentang cara menafsirkan Al-Qur’an yang tanpa memilikinya seseorang akan gagal melakukan tafsir itu.[7]
Dalam hal menafsirkan, dibutuhkan beberapa unsur-unsur pokok pendukung ilmu tafsir. Unsur-unsur pokok ilmu tafsir yaitu sejumlah cabang ilmu yang menjadi unsur ilmu tafsir, yang dikuasai oleh seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an.
Unsur-unsur pokok ilmu tafsir  tersebut yaitu:[8]
1.      Bahasa Arab,  Penguasaan bahasa Arab merupakan modal utama bagi seorang mufassir dalam memahami maksud-maksud Allah yang terkandung dalam firman-Nya.
2.      Ilmu Nahwu atau ilmu gramatika bahasa Arab, Untuk memahami bahasa Arab pada umumnya diperlukan ilmu gramatikanya demikian pula ilmu-ilmu yang lainnya. 
3.      Ilmu Sharaf, dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk-bentuk kata/kalimat dalam bahasa Arab, dapat diketahui berasal dari akar kata apa sebuah kosa kata, dan dengan demikian dapat ditemukan makna kosa kata itu dengan setepat-tepatnya.
4.      Ilmu Balaghah (Ma’ani, Bayan dan Badi’), tidak semua teks bahasa Arab, terutama ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami hanya melalui ilmu nahwu dan sharaf. Banyak terdapat ungkapan dalam Al-Qur’an yang memiliki kekhususan, yakni pemahaman makna dapat diperoleh melalui bantuan ilmu balaghah dengan tida dimensinya tersebut.
5.      Ilmu Tauhid dan Kalam, denagn ilmu ini mufassir harus mampu meneggakan segala yang wajib bagi Allah, yang jaiz dan mustahil bagi-Nya. Serta mufassir dengan ilmu ini dapat melihat dengan jelas ayat-ayat yang berhubungan dengan nubuwat (kenabian) dan sebagainya.
6.      Ilmu Ushul Fiqh, dengan ilmu yang satu ini dapat diketahui bagaimana mengistinbat hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an.
7.      Ilmu Asbabun Nuzul, ilmu ini akan sangat membantu dalam memahami makna yang dikehendaki oleh ayat.
8.      Ilmu Qishah, yaitu ilmu tentang kisah-kisah masa silam baik yang menyangkut kisah para  Nabi beserta umatnya masing-masing maupun yang lainnya. Dan masih banyak lagi ilmu-ilmu yang mendukung ilmu tafsir Al-Qur’an.
  Dengan demikian sangat penting sekali dalam hal menafsirkan al-Qur’an, untuk menjadi pedoman hidup manusia agar selaras dengan ajaran dan aturan agama islam.

B.     Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
Pengertian tafsir sendiri sudah dibahas pada bagian awal pembahasan, yang akan mengantarkan pada pembahasan kali ini yaitu yang mengenai ta’wil dan terjemah yang merupakan konteks saling berdekatan dengan tafsir akan tetapi jelas pengertian ketiganya sangat jauh berbeda.
Menurut pendapat yang masyhur kata Ta’wil dari segi bahasa adalah sama dengan arti kata dari tafsir, yaitu menerangkan dan menjelaskan. Secara etimologi ta’wil berasal dari kata al-ruju’ (kembali atau mengembalikan), al-sharf (memalingkan) dan al-siyasah (mensiasati). Sedangkan ta’wil menurut istilah ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dhahir kepada makna lain (makna batin) yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan (ruh) Al-Qur’an dan Sunnah.
Jadi, menta’wilkan Al-Qur’an ialah membelokkan atau memalingkan lafadz-lafadz atau kalimat-kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran Al-Qur’an.[9]
1.      Perbedaan  Tafsir dengan Ta’wil
Sebagian ulama melihat ada perbedaan-perbedaan antara keduanya yaitu:[10]
a.       Tafsir berbeda dengan ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Pengertian tafsir lebih umum dari pada ta’wil, karena ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang tidak terang maknanya). Jadi, menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat tersebut ta’wil.
b.      Tafsir menerangkan makna lafadz (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan ta’wil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu).
c.       Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan ta’wil dari yang tersirat (bil isyarah).
d.      Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafadzh yang biasa-biasa saja, sedangkan ta’wil berhubungan dengan makna-makna yang khusus.
e.       Tafsir mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Al-Qur’an sendiri, sedangkan ta’wil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.

Sedangkan pengertian terjemah yaitu secara etimologi berasal dari kata tabligh (menyampaikan), tafsir ( menjelaskan). Sedangkan secara istilah yaitu memindahkan makna pembicaraan yang terkandung dalam suatu bahasa kepada bahasa yang lain lengkap dengan makna dan maksudnya.
2.      Pembagian dan Syarat-Syarat Terjemah
a.      Pembagian Terjemah
Terjemah dalam pengertian urfi terbagi 2 yaitu:
1.)    Terjemah Harfiyah
Ialah terjemah yang dalam pengungkapan makna terlalu terikat dengan suasana kata perkata yang ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata.
2.)    Terjemah Tafsiriyah
Ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak terikat dengan sususnan kata perkata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehendaki dengan sebaik-baiknya.

b.      Syarat-Syarat Terjemah
Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam terjemah, baik harfiyah maupun tafsiriyah, sebagai berikut:
1.)    Penerjemah hendaknya memahami benar persoalan-persoalan yang ada dalam dua bahasa, baik bahasa pertama (yang diterjemah) maupun bahasa terjemahannya.
2.)    Penerjemah benar-benar tahu tentang gaya dan pola-pola kalimat serta ciri-ciri khusus dari kedua bahasa.
3.)    Dalam terjemahan terpenuhi atau tercermin semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama dengan mantap.
4.)    Hendaknya wujud atau bentuk terjemah itu benar-benar lepas dari bahasa pertama, sehingga tak ada lagi kata/lafadz bahasa pertama yang masih melekat dalam bahasa terjemah.




3.      Perbedaan  Tafsir dengan Terjemah
Ada unsur persamaan antara keduanya yaitu sama-sama bertujuan untuk menjelaskan, akan tetapi bukan berarti keduanya sama secara mutlak.
Perbedaan-perbedaan keduanya antara lain:
a.       Pada terjemah terjadi peralihan bahasa pertama ke bahasa terjemah, tidak ada lagi lafadz atau kosa kata pertama itu melekat pada bahasaterjemahannya. Bentuk terjemahtelah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir, tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpenting dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.
b.      Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan istidrad, yakni penguraian meluas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak boleh hanya melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru uraian luas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat/Al-Qur’an yang dikehendaki baru dapat dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas.
c.       Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terinci, baik mencakup keseluruhanmakna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu.
d.      Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialih bahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa pertama dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa.  Tidak demikian halnya dengan tafsir,  dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapat pengakuan jika dalam menafsirkan ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirannya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.

C.    Sejarah Perkembangan Tafsir
Sejarah  mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan islam. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tafsir itu sejak Al-Qur’an itu sendiri diturunkan. Sebab begitu Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sejak itu pula beliau melakukan tafsir dalam pengertian sederhanayakni memahami dan menjelaskannya kepada para sahabat. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungannya kepada Nabi. Dalam konteks ini Nabi berposisi sebagai Mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat, jadi beliau adalah awwal al-mufassir, orang pertama yang menguraikan Al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya.[11]
Ada tiga era sejarah perkembangan tafsir, yaitu klasik, pertengahan dan modern-kontemporer.[12]
1.      Tafsir pada Era Klasik
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah SWT.

 “Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) agar engkau menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan bagi mereka.”[13]
“Tidak kami turunkan Al-Qur’an kepadamu (Hai Muhammad) kecuali supaya engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.”[14]
Karena itu wajarlah kalau para sahabat Nabi bertanya kepada Muhammad tentang makna ayat-ayat Qur’an, dan beliau memberikan jawaban-jawabannya. Beliau tidak menafsirkan (menjelaskan makna) ayat-ayat Qur’an mengikuti pikiran beliau sendiri, tetapi menurut wahyu ilahi. Beliau menanyakan kepada Jibril, malaikat Jibril juga tidak memberikan penafsiran menurut kemauannya sendiri, tetapi menyampaikan apa yang diterimanya dati Allah Swt. Karena itulah Allah adalah pihak pertama yang menafsirkan atau menjelaskan makna Al-Qur’anul-Karim, sebab Allah jualah yang menurunkan Al-Qur’an.[15]
Namun, model penafsiran Nabi waktu itu masih bersifat Ijmali (global) dan disampaikan secara oral. Ini boleh jadi karena peradaban Arab waktu itu masih merupakan peradaban lisan dan periwayatan, bukan peradaban tulis dan penalaran. Nabi saw juga belum merumusakan metodologi tafsir secara akademis-sistematis. Tradisi penafsiran pada waktu itu lebih bersifat praktis-implementatif, bukan teoritis-metodologis. Terhadap penafsiran Nabi, para sahabatpun tidak pernah melakukan kritik. Misalnya mengapa beliau menafsirkan ayat A seperti ini. Mereka menerimanya begitu saja sebagai suatu kebenaran.[16]
Selanjutnya, setelah Nabi saw wafat, tradisi penafsiran dilakukan oleh para sahabat, karena tidak ada lagi sumber untuk bertanya mengenai maksud dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga mereka lalu melakukan beberapa metode dalam penafsiran al-Qur’an.
  Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
 seperti Abdullah ibn ‘Abbas (w. 687), Abdullah ibn Mas’ud (w. 635 M), Ubay ibn Ka’b (w. 640), Zayd ibn Tsabit (w. 665) dan sebagainya dengan pola dan epistem yang hampir sama dengan era Nabi.Namun dalam perjalanan sejarah berikutnya, kemudian dikenal beberapa tokoh tafsir. Dari sekian tokoh mufassir sahabat, Ibn Abbas dipandang sebagai tokoh yang paling terkemuka, beliau diberi gelar Tarjuman Al-Qur’an (ahli tafsir al-qur’an).[17]
Karena, ada beberapa faktor mengapa beliau sangat menonjol di bidang tafsir. Abdullah bin Abbas, beliau dekat dengan Umar ibn Khaththab, kekuatan dan ketajaman beliau dalam beristimbath dan berijtihad, beliau sangat serius dalam menekuni ilmu tafsir dan beliau mendapat do’a dari Rasulullah.[18]
Tradisi penafsiran di era sahabat juga masih bersifat oral dengan menggunakan metode periwayatan. Sumber utama penafsiran mereka adalah Al-Qur’an dan hadis rasul itu sendiri, artinya mereka sudah mencoba menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain yang yang mempunyai relevansi yang sama, dengan adagium yang sangat popular yaitu ayat-ayat Al-Qur’an  itu  saling menafsirkan satu sama dengan lainnya.[19]
Selanjutnya, dengan berakhirnya masa sahabat, yaitu dilnjutkan dengan masa tabi’in yaitu dengan pola yabg relatif sama. Namun, ada yang membedakan tradisi penafsiran di era sahabat dengan era tabi’in  yaitu adanya atau sudah mulai munculnya aliran-aliran tafsir. Paling tidak ada tiga aliran yang menonjol di era tabi’in, yaitu: pertama, aliran Makkah, seperti Sa’ad bin Jubair, ‘Ikrimah dan Mujahid ibn Jabr yang ketika itu mereka berguru kepada sahabat Ibnu Abbas. Kedua, aliran Madinah, tokohnya antara lain, Muhammad bin Ka’b, Zayd ibn Aslam al-Qurazhi dan Abu ‘Aliyah yang berguru kepada sahabat Ubay ibn Ka’b. Ketiga, aliran Iraq, tokohnya antara lain,’Alqamah ibn Qays, ‘Amir al-Sya’bi, Hasan al-Bashri, Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi. Mereka mendaku berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Sementara itu, ada pula ulama yang menambahkan satu aliran lagi dalam tafsir tabi’in, yaitu aliran bashrah, yang juga banyak dipengaruhi oleh aliran Makkah, tokohnya antara lain, Ibn Sirirn, Jabir ibn Zayd al-Azdi dan Abu Sya’sya. Aliran Makkah dan Madinah masih cenderung bercorak tradisional, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan di Irak mulai munculcorak tafsir bil ra’yi (rasional).[20]

2.      Tafsir Era Pertengahan
Tradisi penafsiran Al-Qur’an terus mengalami perkembangan, terbukti dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang sangat beragam. Hal itu muncul dari abad ke-3 sampai sekitar abad ke-4 H. Berbagai corak dan ragam penafsiran mulai muncul, terutama masa akhir Dinasti Bani Umayyah dan awal Dinasti Bani Abbasiyyah. Di era ini mulai muncul kecenderungan ideologisdari masing-masing mufassiryang dapat disaksikan melalui produk penafsiran mereka. Tafsir pada era ini dapat disebut sebagai tafsir era afirmatif. Era ini berbasis pasa nalar ideologis, sehingga mulai muncul fanatisme yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri, yang kemudian mengarah kepada sikap taklid buta, sehingga mereka nyaris tidak memiliki sikap toleransi terhadap yang lain dan kurang kritis terhadap kelompoknya sendiri.[21]
3.      Tafsir Era Modern-Kontemporer
Sikap-sikap yang muncul seperti di era pertengahan tersebut kemudian menyebabkan lahirnya kritik dari para pemikir dan mufassir modern yang berlanjut hingga era kontemporer.Mereka berupaya mendekonstruksi dan merekonstruksi model penafsiran yang dinilai telah terlalu jauh menyimpang dari tujuan dari tujuan al-Qur’an.
Era ini dimulai sejak akhir abad 18 M. Bermula pada masa syaikh Muhammad Abduh (1849-1905), corak-corak penafsiran tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Di era ini, perangkat keilmuan untuk menafsirkan al-qur’an semakin kompleks’ seperti menggunakan analisis hermeunitik, sosiologi, antropologi, psikologi, analisis gender dan sebagainya. Dengan kata lain, tafsir tidak hanya murni badalaratul nash, tetapi juga melibatkan dialektika hadlaratu ilmi dan  falsafah.[22]



D.    Kodifikasi Tafsir
Perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), yaitu dapat dilihat dalam tiga periode, yaitu sebagai berikut:[23]
1.      Masa Rasul saw, sahabat dan permulaan masa tabi’in, dimana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2.      Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis  bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis,  walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma’tsur.
3.      Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al-Qur’an.



E.     Metodologi Penafsiran Al-Qur’an

Metode adalah sarana yang sangat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini maka studi tafsir Al-qur’an tidak lepas dari metode, yakni “ suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-qur’an yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw”. Defenisi itu memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Al-qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an. Apabila seseorang menafsirkan Al-qur’an tanpa menempuh alur-alur yang telah ditetapkan dalam metode tafsir, maka tidak mustahil penafsirannya akan keliru, tafsir ini disebut bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pemikiran semata) yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibn Taymiyat menegaskan bahwa penafsiran serupa itu adalah haram. Adapun metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode menafsirkan Al-Qur’an. Dengan demikian kita dapat membedakan antara dua istilah itu, yakni: metode tafsir yaitu cara-cara menafsirkan Al-qur’an, sementara metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut.[24]
1.      Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumbernya metode tafsir dibagi menjadi 3, yaitu:
a.      Tafsir bi al-ma’tsur
Merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam khazanah intelektual islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan bersumber dari riwayat Nabi, para sahabat dan juga dari tabi'in.[25] Seperti penafsiran ayat 133 surat Ali Imran oleh ayat 134-135, yaitu penjelasan mengenai suruhan bertakwa kepada Allah, dengan penjelasan bertakwa itu seperti apanya di ayat selanjutnya yaitu ayat 134-135.


b.      Tafsir bi al-ra’y
Adalah penafsiran Al-Qur’an dengan bersumber dari ijtihad dan penalaran. Tafsir ini muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’tsuur, tidak tertutup kemungkinan kalau sejak zaman Nabi saw, benih-benih tafsir ini telah tumbuh di kalangan umat islam.
Seperti dalam contoh kata al-zarrah ditafsirkan dengan atom, molekul maupun proton.
Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran Al-Qur’an dengan metode ini.
Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum yaitu:
1.)    Penafsir tetap berpegang teguh terhadap petunjuk Nabi saw, dan memperhatikan asbabun nuzulnya Al-Qur’an.
2.)    Dari segi intelektualitas, penafsir harus benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk penafsiran ini. Seperti ilmu bahasa Arab, yang mencakup gramatika dan sastra, ilmu ushuluddin, hukum, hadits dan lain sebagainya.
3.)    Penafsir harus mempunyai aspek mental dan moral yang terpuji, seperti jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung jawabserta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu.[26]

c.       Tafsir bi al-isyaari
Yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada isyarat khusus yang tersembunyi atau makna yang terkandung di luar zahir ayat sesuai dengan petunjuk yang diterima oleh mufassir yang dalam hal ini adalah seorang sufi.


2.      Berdasarkan Cara Penyajiannya
Sementara berdasarkan dari cara penyanjiannya metode penafsiran Al-Qur’an dibagi menjadi 4, yaitu:
a.      Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.
Dengan metode ini penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Penafsir dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana sehingga mudah dipahami, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-qur’an. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-qur’an itu sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga dengan  demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah ia kepada tujuannyadengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Cukup banyak terdapat kitab-kitab  tafsir yang mengikuti metode ini, di antaranya tafsir Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan jalal al-Din al-Mahali, tafsir al-Qur’an al-adzim oleh Muhammad Farid Wajdi dan tafsir al-Wasith buah karya sebuah komite ulamaal-Azhar Mesir.[27]
Dalam suatu metode tentunya terdapat kelemahan dan kelebihannya, yaitu sebagai berikut:
1.)    Kelebihan
a.)    Praktis dan mudah dipahami
Tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa berbelit-belit pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya.
Dengan kondisi demikian, tidak heran bila tafsir dengan metode globalini banyak disukai oleh umat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyarakat.
b.)   Bebas dari penafsiran israillat
Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan,, tafsir ini relatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israilliat, yang kadang tidak sejalan dengan martabat Al-Qur’an sebagai kalam Allah Yang Maha Suci.
c.)    Akrab dengan bahasa Al-Qur’an
Uraian yang dimuat di dalam tafsir ijmali terasa amat singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir.

2.)    Kelemahan
a.)    Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial
Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah. Itu berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat itu, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b.)   Tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

b.      Metode Tahlili
Metode Tahili disebut juga metode analitis, adapun yang dimaksud metode analitis ialah  menafsirkan ayat-ayat al-quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya  sesuai dengan keahlian dan kecenderungan musafir yang menafsirkan ayat - ayat tersebut. [28]
Dengan metode ini  ,biasanya mufassir  menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Quran ,ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutanya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat dan kaitanya dengan yang  lain baik sebeum maupun sesudahnya dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat dan para tabi’in.
1.)    Ciri –Ciri Metode Tahlili
  Metode ini dapat mengambil bentuk Mat’sur (riwayat) atau ray (pemikiran ). Pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir  yang dinukilkan dengan  jelas yaitu menjelaskan makna yang terkandung  di dalam ayat ayat al-Qur’an  secara komperasif dan menyeluruh, baik yang bentuk ma’tsur maupun al-ra’y. Dalam penafsiran ini  Al-Quran di tafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah secara berurutan, serta tidak ketinggalan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang di tafsirkan. Demikian pula  ikut di ungkapkan  penafsiran –penafsiran  yang pernah diberikan  oleh Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan para ahli tafsir  lainya dari berbagai disiplin ilmu.   
2.)    Kelebihan
Metode analitis atau tahlili memiliki beberapa kelebihan yaitu:
a.)    Ruang lingkup yang luas
Mempunyai ruang ligkup yang lebih luas  karena dapat di gunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya:matsur dan ra’y. Bentuk al-ra’y dapat dikembangkan dengan  dalam berbagai corak penafsiran sesuai  dengan keahlian masing-masing mufassir.
b.)   Memuat Berbagai Ide
Metode ini memberikan kesempatan yang luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasanya dalam ide-ide  dan gagasanya dalam menafsirkan al-Qur’an yang berarti penafsiran ini manampung berbagai ide yang terpendam  didalam benak mufasir bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat ditampung .

3.)    Kekurangan
Adapun kekurangan dari metode tahlili sebagai berikut:
a.)    Menjadikan petunjuk al-quran  parsial
Metode analitis juga dapat membuat petunjuk Al-Quran  memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang di berikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang di berikan pada ayat-ayat lain yang sama denganya. Terjadinya perbedaan  tersebut terutama disebabkan oleh kurang di perhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama denganya.

b.)   Melahirkan Penafsiran Subjektif
Metode analitis, sebagaimana telah disebut dimuka, memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk menggemukakan ide-ide dan pemikiranya, sehingga kadang-kadang musfassir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan al-Qur’an secara subjektif , dan tidak mustahil pula diantara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah  atau norma-norma yang berlaku. Akibat dari subjektif  itu penafsiran itu menjadi kurang tepat, sehingga maksud ayat berubah. Terjadinya hal yang demikian dapat disebut sebagai konsekuensi logis dari metode analisis karena didalam metode ini tidak ada ketentuan yang mngatur ke arah mana dan bagaimana seharusnya mufasir berbuat agar tidak terjerumus  kedalam penafsiran-penafsiran yang keliru, apalagi bila penafsiran tersebut dilakukan dalam bentuk al-ray, seagaimana yang diuraikan.

c.)    Masuk Pemikiran Israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk kedalamnya, tidak terkecuali pemikiran israilat.
Demikianlah beberapa kekurangan atau kelemahan yang dapat diamati di dalam metode tahlili. Namun tidak berarti kekurangan tersebut  merupakan sesuatu yang negatif sehingga kita dilarang menggunakan sama sekali. Dengan mengetahui kekurangan tersebut, para mufasir akan lebih berhati-hati dalam memakai metode tersebut, sehingga tidak sampai terseret ke dalam kekeliruan dalam proses penafsiran Al-Quran .

4.)    Urgensi Metode Analitis
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur’an. Berkat metode ini, maka lahir karya-karya  tafsir. Metode analitis megkaji ayat-ayat al-Qur’an  dari berbagai aspeknya sekaligus selama masih dalam kapasitas ayat tersebut. Namun pembahasan tidak tuntas karena pada ayat lain yang juga membicarakan hal yang sama tersebut akan muncul  lagi dengan sedikit modifikasi: pertambahan atau berkurang. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa jika menginginkan pemahaman yang luas dari suatu ayat dapat melihatnya dari berbagai aspek, maka tiada jalan lain kecuali menempuh atau menggunakan metode analitis.
c.       Metode Muqarin
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang ada, dapat di rangkum bahwa yang di manksud dengan metode muqarin ialah:
1.) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an  yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda  bagi satu kasus yang sama.
2.) Membandingkan ayat Al-Qur’an  dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3.) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir  dalam menafsirkan  al-Qur’an .[29]
Dari definisi itu  terlihat jelas bahwa tafsir al-quran dengan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat dengan hadist serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
Mekipun yang diperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadist, dalam proses penafsiranya musafir perlu pula meninjau pendapat yang telah di kemukakan berkenaan dengan ayat itu.

1.)    Ciri- ciri Metode Muqarin
Perbandingan  adalah ciri utama bagi metode komperatif. Dalam konteks ini al-farmawi menyatakan bahwa yang dimanksud dengan metode komperatif adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh  sejumlah musafir. Selanjutnya langkah-langkah yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak berbagai pendapat mufassir tentang ayat tersebut, baik yang klasik (salaf) maupun yang di tulis oleh ulama khallaf serta membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan itu  untuk menggetahui kecenderungan -kecenderungan mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, keahlian yang mereka kuasai dan lain sebagainya. Maka yang di peroleh dari gambaran diatas bahwa segi sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek  yang di kaji dalam di dalam tafsir perbandingan atau muqarin yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist dan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan al-quran.


2.)    Kelebihan
Di antara kelebihan metode ini adalah sebagai berikut:
a.)    Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca  dibandingkan dengan metode – metode lain. Didalam penafsiran itu  bahwa satu ayat  al-Qur’an dapat di tinjau  dari berbagai disiplin ilmu pegetahuan sesuai keahlian mufasirnya.Dengan demikian, terasa bahwa al-Qur’an itu tidak sempit, melainkan amat luas  dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat.
b.)    Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda  dari penndapat kita  dan tak mustahil ada yang kontradiktif, yang dengan demikian dapat mengurangi fanatisme terhadap mazhab atau aliran tertentu .
c.)    Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang satu ayat dan mereka yang ingin memperluas atau mendalami penafsiran al-Qur’an  bukan lagi para pemula.
d.)   Dengan menggunakan metode komperatif mufassir didorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadist-hadist serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.


3.)    Kekurangan
Diantara kekurangan  metode ini adalah :
a.)    Penafsiran yang memakai metode komperatif tidak bisa dilakukan bagi penafsir pemula, seperti mereka yang sedang belajar  pada tingkat sekolah menengah kebawah. Hal ini disebabkan  peembahasan yang ada didalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
b.)   Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.
c.)    Metode komperatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran  yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan penafsiran baru
4.)    Urgensi Metode Komperatif
Mengembangkan pemikiran tafsir  yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan  gambaran yang lebih komprehensif  berkenaan dengan  latar belakang lahirnya suatu  penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Qur’an pada periode-periode selanjutnya.
d.      Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Tematik adalah Membahas ayat-ayat al-Qur’an  sesuai dengan tema  atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun kemudian di kaji secara mendalam dan tuntas  dari berbagai aspek  yang terkait denganya, seperti asbab al nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung dalil-dalil  atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen  itu bersal dari al-Qur’an, hadist maupun pemikiran rasional[30].
1.)    Ciri-Ciri Metode Tematik
Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik bahasan. Sehingga tidak salah jika dikatakan  bahwa metode ini di sebut metode topikal. Jadi, mufassir  mencari tema-tema  atau topik-topik yang ada ditengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri ataupun dari yang lain-lain. Kemudian tema-tema yang dipilih dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat didalam ayat-ayat yang ditasirkan tersebut. Artinya, penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut  berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka. Semua yang berkaitan dengan permasalahan yang tercakup didalam tema yang harus dipilih harus di bahas secara tuntas dan menyeluruh agar diperoleh solusi dari permasalahn yang yang timbul. Dengan demikian, ini dapat dikategorikan ke dalam apa yang disebut dengan metode pemecahan masalah, khusus dalam bidang tafsir.
Dalam metode ini ada beberapa langkah  yang harus ditempuh mufassir, antara lain sebagaimana yang telah di ungkapkan al-Farmawi:
a.)  Meghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunya. Hal ini di perlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukkah dan sebagainya.
b.) Menelusuri latar belakang turun (asbab nuzul) ayat- ayat yang telah dihimpun.
c.)  Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai ayat tersebut, terutama kosa kata yang yang menjadi pokok permasalahan didalam ayat itu . Kemudian mengkajinya dari segala aspek yang berkaitan denganya seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti dan sebagainya.
d.) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufassir, baik yang klasik maupun kotemporer
e.)  Semua itu dikaji tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melaui kaidah-kaidah tafsir-tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta  dan argument-argument dari al-Qur’an, hadist atau fakta-fakta sejarah yang ditemukan .


2.)    Kelebihan Metode Tematik
Diantara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut :
a.)  Menjawab Tantangan zaman
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Permsalahan yang adapun semakin kompleks, untulk menghadapi permsalahan demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an tidak dapat di tangani dengan metode-metode penafsiran selain  tematik. Hal ini dikarenakan kajian metode tematik ditunjukan untuk menyelesaikan masalah. Itulah sebabnya metode ini mengkaji  semua ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya.
b.)  Praktis dan Sistematis
Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul, kondisi yang semacam ini sangat relevan dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapa petunjuk Al –Qur’an mereka harus membacanya, dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktik dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif dan efisien.
c.)   Dinamis
Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbukan image  ke dalam benak pembaca atau pendengarnya bahwa Al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.
d.)  Membuat Pemahaman Utuh
Dengan di tetapkan judul-judul  maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap dengan utuh, dan dapat diandalkan untuk memecahkan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.

3.)    Kekurangan Metode Tematik
Adapun kekurangan yang dimiliki metode ini adalah:
a.)  Memenggal  Ayat Al-Quran
Memenggal ayat al-Qur’an  yang dimaksudkan disini ialah mengambil satu kasus yang terdapat didalam satu ayat atau lebih yng mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya petunjuk tentang sholat dan zakat, biasanya kedua ibadah itu di ungkapan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, misalnya maka mau tak mau ayat tentang sholat harus ditinggalkan ketika menukilkanya dari mushaf agar tidak menganggu pada waktu melakukan analisis.
Cara serupa ini kadang-kadang dipandang kurang sopan terhadap ayat-ayat suci sebagaimana yang dianggap terutama kaum tekstualis. Namun, selama tidak merusak pemahaman, sebenarnya cara serupa itu tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang negatif, apalagi para ulama sejak dulu sering melakukan pemenggalan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan keperluan kajian yang sedang mereka bahas seperti terdapat  didalam kitab-kitab fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir dan sebagainya.
b.)  Membatasi Pemahaman Ayat
Dengan ditetapkanya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu, padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena seperti  dinyatakan Darraz sebagaimana telah di kutip, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya, jadi dengan ditetapkanya  judul pembahasan berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut. Dengan demikian  dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamanya tafsir tema. Kondisi yang digambarka itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematis. Namun hal ini tak perlu dikawatirkan karena tidak akan mengurangi pesan-pesan al-Qur’an, kecuali bila dinyatakan bahwa penafsiran ayat itu hanya itu saja, tidak ada yang lain. Ternyata tidak demikian.

4.)    Urgensi Metode Tematik
Dapat di andalkan untuk menjawab permasalan yang ada dibumi, itu berarti metode ini besa sekali artinya jalan kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar  sesuai dengan maksud turunya Al-Quran. Berawal dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan meode ini semakin kuat  di dalam khazanah intelektual islam. Oleh karenanya, metode  ini perlu dipunyai oleh para ulama, khususnya para mufassir  atau calon mufassir  agar mereka dapat memberiknan konstribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini kejalan yang benar demi meraih kebahagian di dunia dan di akhirat.
Terjadinya pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, sebagai akibat dari tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat berbahaya  karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami al-Qur’an.


F.     Hikmah Tafsir Al Quran
1.      Dengan mempelajarinya, kita telah mengikuti ajaran (sunnah) Rasulullah dan para sahabatnya. Yang mana mereka tidak hanya membacanya tapi juga mempelajari dan memahami kandungannya.
2.       Dengan memahami kandungan ayat-ayat ALLAH, kita akan mengetahui betapa luasnya ilmu ALLAH dan betapa besarnya kasih sayang ALLAH kepada para hamba-Nya.
3.      Dengan belajar tafsir dan belajar bahasa arab, kita akan mengetahui bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa yang paling fasih dan merupakan “jawami’ul kalim” yaitu kalimat yang ringkas namun memiliki kandungan makna yang dalam dan sangat luas.
4.      Dengan mempelajari dan mengetahui setidaknya apa itu penafsiran dan metodenya hidup kita akan terarah sesuai dengan syari’at islam karena kita sudah mengetahui tafsir dari kitab Allah sendiri sebagai pedoman hidup.
5.      Dengan memahami kandungan “Kalamullah”, akan membuat kita lebih khusyuk dalam sholat. Karena kita memahami makna dan kandungan setiap ayat yang kita baca atau imam lantunkan dalam sholat.
6.      Dengan membaca Al Qur’an dan memahami kandungannya, akan menambah iman kita. Dan kita bisa termasuk ke dalam golongan sebaik-baik manusia yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kabarkan
7.      Dengan mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah yang dipahami oleh para sahabat, kita akan mengetahui betapa indahnya syariat Islam ini. Dan yang lebih penting daripada itu, dengan memahami keduanyakita akan selamat dan mendapatkan kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.[31]


G.    Keterkaitan dengan Bimbingan dan Konseling Islam
Dengan demikian penafsiran Al-Qur’an mempunyai keterkaitan dengan prodi Bimbingan dan Konseling Islam, dimana  prodi tersebut juga dalam hal pelaksanaan proses konselingnya berlandaskan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits demi tercapainya kebahagiaan klien baik di dunia maupun di akhirat. Yang diharapkan jika seorang konselor setidaknya harus tahu tentang penafsiran agar dapat menyimpulkan masalah klien dan saran-saran yang sesuai atau dapat membantu klien serta yang dikehendaki klien itu.
Dalam hal menafsirkan atau memahami masalah klien ataupun dalam proses membantu klien itu, seorang konselor diharapkan tidak langsung menyimpulkan suatu keputusan tanpa melihat metode dan teknik dari konseling, serta tidak melihat faktor dari luar maupun dalam dari diri individu klien itu sendiri, demi tercapainya kebahagiaan klien.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penafsiran terhadap al-qur’an sangat berfungsi untuk pedoman hidup manusia agar sesuai dengan syariat islam, karena fungsi tafsir sendiri yaitu menjelaskan yang tidak jelas menjadi jelas dan yang samar menjadi samar.
B.     Kritik dan Saran
Sebagai umat islam berintelektual hendaknya kita bisa setidaknya memahami dan mengaplikasikan penafsiran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari agar kehidupan kita sesuai dengan syariat islam yang tidak melenceng, serta setidaknya kita mampu membedakan tafsir mana yang lebih layak untuk diyakini.
















                                               DAFTAR PUSTAKA              

Baidan, Nashrudin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Munawir, Fajrul dkk. 2005. Al-Qur’an. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.
Baidan, Nashrudin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Ali dkk. 1992. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Suryadilaga, M. Alfatih. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir 1.Yogyakarta: Teras.

Ahmad, Abi al-Husayn. 1970. Maqayis al-Lughah juz IV. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi.

Al-Syirbashi, Ahmad. 1994. Sejarah Tafsir al-Qur’an. Jakarta: terjemahan Tim Pustaka Firdaus.

Suryadilaga, M. Alfatih. 2014. Pengantar Studi Qur’an Hadits. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.

Abu Nabila, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-furqan-ayat-21-34.html, diakses pada tanggal 14 Maret 2016 pukul 10.11.

http://islamregion.com/blog/814/ di akses pada  senin 21 maret 2016 pukul 07.35.



[1] Abu Nabila, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-furqan-ayat-21-34.html, diakses pada tanggal 14 Maret 2016 pukul 10.11
[2] Abi al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lughah, juz IV (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970), h. 504.
[3] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (T.t.p.: Pustaka Firdaus, 1994), h.5
[4] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir 1 (Yogyakarta: Teras,  2005), h.27.
[5] Ibid., h.29.


[6] M. Ali Hasan dkk, Pengantar Ilmu Tafsir cet 2, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h.142-143.

[7]M. Ali Hasan dkk, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h.181.
[8]Ibid., h.186-191.
[9] Ibid., h.143-144.
[10]Ibid., h.146-147.
[11] M. Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadits, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014) h.63.
[12] Fajrul Munawir dkk, Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), h.126
[13] Q.S An-Nahl (16): 44
[14] Q.S An-Nahl (16): 64
[15] Ahmad Asy Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) h.67.
[16] Fajrul Munawir dkk, Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), h.126.
[17] Ibid., h.127-128.
[18] Imam Nawawi mengutip sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhori yang menceritakan bahwa pada suatu hari Rasul Allah, memeluk ibnu Abbas seraya berdoa: “Ya Allah, ajarkanlah Qur’an kepadanya “. Dalam hadits bukhori yang lain, Rasul Allah berdoa: “Ajarkanlah hikmah kepadanya”. Sedangkan dalam riwayat Muslim doa Rasul itu berbunyi: “Ya  Allah dalamkanlah ilmu agamanya (faqqih-hu).
[19] Fajrul Munawir dkk, Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), h. 128-129.
[20] Ibid., h.131.
[21] Ibid., h.136-140.
[22] Fajrul Munawir dkk, Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), h.143-144.
[23] Fajrul Munawir dkk, Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), h.144.
[24] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.54-55.
[25] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h.42.
[26] Ibid., h. 43-44.
[27] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h.45-46.
[28]Nashrudin Baidan, Metodelogi Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, 1998), h.31.
[29] Ibid., h.65.
[30] Ibid., hal.151.
[31] http://islamregion.com/blog/814/,di akses pada  senin 21 maret 2016 pukul 07.35
Previous
Next Post »

Silahkan berkomentar dengan sopan dan beradab :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon